REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan iklim semakin membebani sistem air dan kelistrikan di Asia, mengancam jutaan penduduk serta memaksa negara-negara di kawasan ini menyiapkan ratusan miliar dolar setiap tahun untuk menjaga layanan dasar tetap berjalan.
Dalam laporan terbarunya, Bank Pembangunan Asia (ADB) menyatakan frekuensi dan intensitas bencana terkait air meningkat tajam di seluruh kawasan. ADB memperkirakan negara-negara Asia membutuhkan pendanaan hingga 4 triliun dolar AS, atau sekitar 250 miliar dolar AS per tahun pada 2025–2040, untuk membangun sanitasi serta memperkuat perlindungan sistem air.
Di sisi lain, laporan Asia Investor Group on Climate Change dan MSCI Institute menunjukkan cuaca ekstrem akan menyebabkan kerugian pada perusahaan listrik di Asia-Pasifik hingga 8,4 miliar dolar AS per tahun pada 2050, tiga kali lipat dari kondisi saat ini. Lonjakan risiko tersebut mendorong negara-negara Asia mempercepat adaptasi iklim pada sistem kelistrikan.
Risiko-risiko yang dipaparkan lembaga-lembaga internasional itu sudah terlihat di beberapa negara, termasuk Indonesia. Banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November lalu menewaskan hampir 1.000 orang, memutus jaringan listrik, dan mengganggu akses air bersih. Aceh bahkan menjalankan pemadaman bergilir selama sepekan.
ADB mencatat saat ini 2,7 miliar orang atau 60 persen populasi Asia-Pasifik memiliki akses air untuk kebutuhan dasar. Namun lebih dari 4 miliar orang masih terpapar air tidak layak, degradasi ekosistem, dan risiko iklim. Sejak 2013, akses air di pedesaan meningkat bagi 800 juta orang, dengan India mencatat kemajuan paling pesat. Meski begitu, pakar pengembangan perkotaan ADB, Vivek Raman, menyebut Asia menghadapi “tiga ancaman sekaligus: tekanan lingkungan, investasi rendah, dan perubahan iklim.”
Laporan ADB juga mengungkap ekosistem air di 30 dari 50 negara Asia memburuk atau stagnan akibat pembangunan tak terkendali, polusi, dan alih fungsi lahan. Asia menjadi kawasan paling rentan banjir, menanggung sekitar 41 persen kejadian banjir global, sementara negara-negara Pasifik menghadapi ancaman kenaikan permukaan laut.
Pada 2013–2024, Asia-Pasifik mengalami 244 banjir besar, 104 kekeringan, dan 101 badai. Bencana tersebut menahan laju pembangunan dan menimbulkan beban ekonomi besar. Saat ini, investasi untuk sanitasi dan sistem air di kawasan baru mencapai 40 persen dari kebutuhan total.
Direktur Jenderal Koalisi untuk Infrastruktur Tahan Bencana (CDRI) di New Delhi, Amit Prothi, mengatakan pembangunan pesat Asia membuka peluang untuk memperbaiki kualitas infrastruktur. “Dalam tiga dekade ke depan, jumlah infrastruktur yang kita bangun di Asia setara dengan dua abad sebelumnya. Ini peluang untuk membangun dengan cara baru,” ujarnya.
CDRI memperkirakan sepertiga infrastruktur Asia senilai 800 miliar dolar AS terpapar risiko bencana setiap tahun.
Laporan Asia Investor dan MSCI menilai tanpa adaptasi iklim yang memadai, perusahaan utilitas Asia akan menghadapi kerugian besar akibat panas ekstrem, banjir, dan kelangkaan air. Asia yang menyumbang 60 persen kapasitas pembangkit listrik dunia masih sangat bergantung pada batu bara, menjadikan ketahanan energi semakin terancam.
“Jika melihat dampak dan kesiapan perusahaan, sebagian besar masih berada pada tahap awal,” ujar Direktur Kebijakan Asia Investor Group on Climate Change, Anjali Viswamohanan, dilansir The Associated Press.
Studi lembaga tersebut terhadap 2.422 pembangkit listrik di Cina, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Korea Selatan menunjukkan panas ekstrem menjadi ancaman terbesar, menyumbang lebih dari separuh proyeksi kerugian pada 2050. Gelombang panas menurunkan efisiensi pembangkit dan membebani jaringan transmisi. NTPC di India, PLN di Indonesia, dan Tenaga Nasional di Malaysia termasuk perusahaan dengan risiko tinggi terhadap suhu ekstrem.