Rabu 04 Oct 2023 17:55 WIB

Startup Norwegia Buat Busa Sofa Ramah Lingkungan dari Rumput Laut

Di industri mebel, busa sofa sangat berdampak buruk bagi lingkungan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Busa sofa berdampak sangat buruk terhadap lingkungan (Foto: ilustrasi sofa)
Foto: www.freepik.com
Busa sofa berdampak sangat buruk terhadap lingkungan (Foto: ilustrasi sofa)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri mebel atau furnitur menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar. Faktanya, busa polyurethane yang berasal dari petrokimia dan banyak digunakan pada sofa, kursi, dan perabot lain menyumbang 105 juta metrik ton emisi CO2 setiap tahunnya.

Prihatin atas kondisi tersebut, Celine Sandberg melakukan eksperimen membuat busa furnitur yang lebih berkelanjutan. Ia kemudian mendirikan perusahaan rintisan bernama Agoprene yang menciptakan busa furnitur berkelanjutan. Menariknya, dia bersama tim memanfaatkan rumput laut sebagai material pengganti.

Baca Juga

"Dalam industri mebel, semua orang tahu bahwa busa berdampak buruk bagi lingkungan, tetapi tidak ada alternatif lain. Dan saya ingin menyediakan alternatif yang lebih berkelanjutan dari apa yang kita miliki saat ini, tanpa petrokimia,” kata Sandberg. Petrokimia sendiri merupakan bahan kimia apapun yang diperoleh dari bahan bakar fosil.

Bersama dengan ahli kimia riset Agoprene, Asanga De Alwis, Sandberg mulai melakukan eksperimen di sebuah dapur kecil di Trondheim, Norwegia. Mereka menggabungkan berbagai jenis bahan berbasis rumput laut dengan urutan tertentu, menuangkan campuran tersebut ke dalam cetakan, lalu memanaskannya hingga suhu 50 derajat Celcius -sebuah proses yang ia samakan dengan memanggang kue. Tidak seperti memanggang kue konvensional, busa menghabiskan waktu sekitar 10 jam di dalam oven, tergantung pada ketebalan bahannya.

"Banyak ide kami yang gagal. Bahkan kami harus membuat sekitar 800 sampel busa," jelas Sandberg seperti dilansir The Wired, Rabu (4/10/2023).

Pada awalnya, ia membangun bisnis tanpa mencari modal dari investor atau pihak eksternal. Berbekal anggaran yang tidak banyak, yaitu 1 juta kroner Norwegia (sekitar Rp 1,4 miliar) dari Dewan Riset Norwegia, Sandberg mulai mencari peralatan bekas dan menghubungi pemasok untuk meminta sampel biomassa secara cuma-cuma.

"Saya harus bekerja tanpa gaji selama delapan bulan, kembali ke rumah orang tua saya, dan bahkan meminta mereka untuk membayar tagihan telepon setiap bulan karena saya tidak punya uang. Tapi saya sangat yakin bahwa suatu hari nanti semua ini akan berhasil,” jelas dia.

Pada tahun 2023, Agoprene terpilih menjadi bagian dari program akselerasi Venture Lab dari BioInnovation Institute, yang memberikan pinjaman konversi sebesar 525 ribu dolar AS kepada perusahaan rintisan tahap awal, ditambah akses ke laboratorium dan kantor di fasilitas yayasan tersebut di Kopenhagen. Hal ini memberikan Sandberg sarana untuk melakukan uji coba produksi 500 bantal busa, dan untuk menentukan apakah metode yang digunakannya saat ini dapat diskalakan.

“Jika semuanya berjalan lancar, saya berharap dapat memasuki pasar pada akhir tahun 2023,” jelas dia.

Saat ini, Sandberg fokus pada pengembangan busa untuk furnitur, tetapi juga terbuka untuk menjajaki aplikasi baru. Sebagai contoh, Agoprene telah menerima permintaan dari produsen ski, perusahaan kedap suara, dan bahkan pembuat sepatu, dimana semuanya mencari busa yang berkelanjutan.

Namun, terlepas dari permintaan yang terus meningkat, industri ini diperkirakan akan bernilai 118,9 miliar dolar AS pada tahun 2026. Sandberg juga tidak menargetkan untuk mendominasi dunia. Sebaliknya, ia berharap dapat melihat lebih banyak perusahaan rintisan yang memasuki bidang ini dan mengembangkan alternatif lain yang berkelanjutan selain petrokimia.

"Di Skandinavia, tidak banyak orang yang bekerja dengan bahan berbasis bio, karena ini sangat menantang. Saya berharap Agoprene dapat menciptakan semacam komunitas, yang menginspirasi orang lain untuk bersama-sama mengatasi masalah ini. Saya ingin lebih banyak orang melakukan apa yang kami lakukan,” kata dia.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement