REPUBLIKA.CO.ID, MANSFIELD -- Pengamat kebijakan energi yang berbasis di Mansfield, Inggris, David Blackmon menilai proyek-proyek ambisius yang diadopsi banyak negara untuk mencapai target nol emisi pada 2050 gagal terlaksana. Karena tekanan dari pasar, terbatasnya sumber daya dan modal beberapa bulan terakhir, sejumlah perusahaan dan pemerintah di semua tingkatan mengumumkan menunda atau mengabaikan kerangka waktu dan target nol emisi.
Hal tersebut menunjukkan target-target ambisius tidak praktis dan sulit dicapai. Dalam artikelnya yang dipublikasikan di Forbes, Jumat (9/8/2024), Blackmon mengatakan tren ini semakin terlihat di Amerika Serikat (AS) selama dua belas bulan terakhir, baik di sektor mobil listrik dan industri pembangkit listrik tenaga angin.
Agar transisi energi berhasil, maka seluruh sistem energi di dunia harus diubah. "Di sektor otomotif, kini banyak produsen mobil bahan bakar listrik murni yang bangkrut atau di ambang kebangkrutan, sementara pada tahun ini produsen mobil besar seperti Ford, GM, Volvo dan Stellanis menghabiskan banyak waktu untuk menjelaskan kerugian besar dan mempertimbangkan kembali strategi dan investasi mereka," tulis Blackmon.
Bulan lalu, pisau turbin Vineyard Wind I di Massachusetts, setinggi 105 meter terbang ke Samudera Atlantik dan terdampar di pantai Pulau Nantucket. Blackmon mencatat bencana itu memaksa regulator pemerintah federal menutup satu-satunya proyek pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai AS dan memberi pukulan keras bagi industri itu.
Bencana itu juga membuat masyarakat khawatir rentannya pisau raksasa dan turbin setinggi 850 kaki terhadap cuaca buruk yang semakin sering terjadi. Blackmon mengatakan negara-negara OECD juga mengalami masalah ini dan masalah-masalah lain.
Masalah-masalah yang terjadi dalam upaya transisi hijau berdampak pada upaya mereka mencapai target nol emisi. Blackmon mengutip Sekretaris Jenderal dan CEO Dewan Energi Dunia (WEC) Angela Wilkinson yang mengatakan energi harus dibicarakan dengan cara yang berbeda.
Wilkinson yakin pemimpin-pemimpin dunia harus berhenti memperlakukan energi seperti satu masalah yang dapat diselesaikan dengan cepat. Menurut Wilkinson, kunci menyelesaikan masalah ini adalah dengan menanggapinya dengan lebih serius dibandingkan lebih cepat.
Pada tahun 2024, WEC sudah berusia 100 tahun dan akan melanjutkan misinya sebagai penengah dan perantara dan memfasilitasi dialog antara pemangku kepentingan yang membentuk komunitas energi global. "Kami menyebutnya Dewan berperan sebagai suara masuk akal bagi abad ini," kata Wilkinson seperti dikutip Blackmon.
Blackmon menulis dalam perbincangannya dengan Wilkinson bahwa mengatakan transisi energi merupakan proses yang sulit dan berantakan. Sesuatu yang belum pernah dilakukan dan harus dipelajari bersama-sama.
Blackmon mengatakan semua yang terlibat belajar bersama-sama terkadang dengan cara yang sulit. Menelan banyak anggaran nasional, profit perusahaan, keandalan jaringan listrik dan ketahanan energi.
Wilkinson yakin masalah yang menghambat kemajuan transisi adalah lemahnya sistem pemikiran dan perencanaan pembuat keaijakan. Ia mengatakan transisi merupakan kesempatan untuk mengatur ulang masyarakat. "Tidak sesederhana menyingkirkan satu teknologi dengan lainnya dan semuanya tetap sama," kata Wilkinson.
Tapi menurutnya, narasi sederhana ini bertahan dalam sistem perminyakan. Seakan-akan penggunaan energi terbarukan dapat terjadi dengan cepat dan semuanya akan berubah. "Itu seperti kami akan mencabut tulang paha anda, tapi kami ingin anda lari maraton," katanya.
Wilkinson menyebut Afrika Selatan merupakan salah satu kasus yang menarik. Ia mengatakan Bank Dunia memberikan 497 juta dolar AS untuk membantu negara itu menurunkan ketergantungannya pada batu bara dan mulai menuju transisi energi bersih dan langkah itu terbukti tidak berhasil.
"Dan saya tidak bisa tidak berpikir bahwa ada analogi di sini di Afrika Selatan ketika mereka mencoba untuk mempercepat peralihan dari batu bara, seperti yang terjadi di Eropa ketika kami bertransisi dengan cepat dari batu bara ke gas di Inggris," katanya.
Menurutnya agar transisi berhasil maka seluruh sistem energi harus diubah. Ia menjelaskan untuk menerapkan energi terbarukan, perlu memperluas dan memperkuat jaringan listrik yang membutuhkan lebih banyak tembaga.
Maka, pada tahun 2050 tembaga yang ditambang bertambah dua kali lipat dibandingkan saat ini. Sementara pasokan hidrogen ramah lingkungan agar dapat menambang tembaga dengan bersih tidak cukup. "Anda harus memikirkan sistemnya dan belum cukup yang memikirkan sistem dalam transisi energi," katanya.