REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Produksi minyak nasional secara alamiah mengalami penurunan. Saat ini, berbagai pihak mengupayakan untuk menaikan kembali produksi minyak nasional. Tujuannya untuk ketahanan energi nasional.
Namun, di tengah upaya upaya itu berpotensi menimbulkan peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK). Salah satu kontribusi utamanya, yakni pembakaran gas suar atau flare gas pada aktivitas industri migas.
Berdasarkan data dari International Energy Agency (IEA), Indonesia merupakan salah satu negara penyumbang emisi terbesar dunia. Di tahun 2021 saja, jumlahnya yang mencapai 602,6 juta ton karbon.
Sementara Presiden RI Joko Widodo telah menyampaikan komitmennya untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) Target di 2060. Komitmen itu digulirkan dalam Forum COP 26 pada 31 Oktober - 12 November 2021 di Glasgow, Skotlandia.
Komitmen lainnya, Indonesia juga menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi 31,89 persen dengan upaya sendiri, dan 43,20 persen dengan bantuan internasional di 2030. Semua itu tertuang dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC).
Direktur Utama PT Sarana Indo Energi (SIE) Hilman Hilmawan mengatakan, saat ini diperlukan terobosan teknologi untuk mendukung upaya peningkatan kapasitas produksi migas di Indonesia. Di tengah peningkatan produksi migas, pihaknya juga sepakat untuk mereduksi dampak negatif terhadap lingkungan.
Salah satunya, papar dia, yakni dengan sumber flare gas menjadi energi yang bernilai ekonomi. PT SIE selalu berkomitmen untuk mengembangkan teknologi pemrosesan flare gas dan gas alam pada skala yang sesuai aspek Environmental, Social dan Governance (ESG) perusahaan.
Salah satu implementasi dari konsep ESG, yakni dengan menggunakan teknologi Pressure Swing Adsorption (PSA), khususnya dalam pengolahan gas suar atau pengolahan gas alam. Teknologi tersebut dikembangkan oleh PT Aimtopindo Nuansa Kimia (ANK), serta dioperasionalisasikan oleh PT SIE.
Menurut Hilman, teknologi ini merupakan solusi yang efektif dalam mengurangi flaring gas. Seperti diketahui, ungkap dia, flaring gas kerap menjadi pemicu terjadinya peningkatan emisi GRK.
Selain itu, teknologi ini dapat dioperasikan oleh tenaga kerja lokal. Misalnya di proyek Randegan Majalengka Jawa Barat. ‘‘Kami libatkan hampir 90 persen tenaga kerja setempat,‘‘ tambahnya.
Dia menyatakan, pemanfaatan teknologi tersebut ternyata telah memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi semua pihak. Karena, papar Hilman, gas tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif bagi industri dan masyarakat.
‘‘Gas yang diolah dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak bumi yang makin terbatas ketersediaannya,‘‘ tuturnya.
Dorongan dan dukungan dari pemerintah dan berbagai pihak yang berkepentingan, lanjut Hilman, sangat diperlukan untuk menjaga ketahanan energi nasional. Sekaligus, menurut dia, menjadi upaya berkelanjutan dalam menurunkan dampak emisi gas rumah kaca yang dihasilkan.