REPUBLIKA.CO.ID, TOKOYO -- Badan Meteorologi Jepang mengeluarkan peringatan gempa besar atau megaquake pertama kalinya pada 8 Agustus lalu. Peringatan itu dikeluarkan setelah gempa 7,1 magnitudo mengguncang Prefektur Miyazaki di selatan Jepang satu hari sebelumnya.
Gempa di Miyazaki melukai setidaknya 16 orang dan memicu tsunami kecil dengan ketinggian hingga 50 sentimeter selama setengah jam setelah gempa. Episentrum gempa Miyazaki di lepas pantai dengan kedalaman sekitar 25 kilometer di bawah tanah dekat dasar laut yang disebut Palung Nankai.
Dikutip dari Science News, Selasa (13/8/2024) terdapat zona patahan lempeng di bawah palung tersebut, dan pakar khawatir guncangan Miyazaki mengubah distribusi tekanan di sepanjang palung, berpotensi menimbulkan gempa 8 magnitudo atau lebih besar lagi.
Pemerintah Jepang memperkirakan guncangan itu dapat menewaskan ratusan ribu orang. "Kemungkinan gempa bumi skala besar dinilai lebih tinggi dibandingkan kondisi normal," kata JMA dalam peringatan yang dikeluarkan Kamis (8/8/2024) pekan lalu.
Peringatan gempa bumi besar diperkirakan terus berlaku selama satu pekan. JMA menyarankan warga di seluruh selatan Jepang untuk tetap waspada dan bersiap setelah satu pekan masa peringatan berakhir.
Dalam konferensi pers bersama JMA pekan lalu, geolog University of Tokyo Naoshi Hirata mengatakan peluang gempa besar terjadi pekan depan sekitar 1 banding 100. Ia juga mengatakan peluang gempa 8 atau 9 magnitudo di Palung Nankai pada 30 tahun ke depan sekitar 70 sampai 80 persen.
"Terdapat risiko jangka-panjang, tapi ini merupakan peningkatan risiko jangka-pendek karena gempa 7,1 magnitudo," kata pakar geofisika Badan Survei Geologi Amerika Serikat (AS), Morgan Page.
"Resiko jangka pendek ini semakin berkurang setiap hari bila gempa lain tidak terjadi," tambahnya.
Jepang sering dilanda gempa besar dan peringatan pekan lalu tidak mengindikasikan meningkatnya aktivitas seismik akan menjadi tren. Peringatan pekan lalu merupakan peringatan tertinggi kedua berdasarkan protokol Informasi Ekstra Gempa Palung Nankai yang diperkenalkan tahun 2017 lalu.
Protokol ini diaktifkan ketika gempa berkekuatan 6,8 magnitudo atau lebih mengguncang Palung Nankai atau sekitarnya. Peringatan tertinggi dipicu gempa dengan kekuatan gempa 8 magnitudo.
Palung Nankai terbentuk subduksi Lempeng Laut Filipina di bawah Lempeng Eurasia. Terdapat zona patahan di mana kedua lempeng berinteraksi yang disebut Megathrust Nankai yang mengalami gempa 8 magnitudo atau lebih setiap 100 sampai 150 tahun sekali.
Gempa terakhir terjadi pada tahun 1946 dengan kekuatan 8,1 magnitudo. Pada Jumat (9/8/2024), guncangan sebesar 5,3 magnitudo mengguncang Prefektur Kanagawa dekat Tokyo, di luar area peringatan gempa besar Palung Nankai.
Bukan hal yang jarang terjadi gempa yang lebih kecil memicu gempa besar. Badan Survei Geologi AS mengatakan berdasarkan observasi sekitar 5 persen gempa akan diikuti gempa yang lebih besar satu pekan setelahnya.
Science News melaporkan, meskipun demikian, mustahil untuk memprediksi gempa bumi secara akurat atau mengetahui apakah gempa bumi akan segera diikuti oleh gempa bumi lainnya.
Tahun lalu, peneliti melaporkan gempa besar akan terjadi di megathrust Nankai. Kemungkinan gempa besar lainnya akan terjadi satu pekan setelahnya dengan persentase 2,1 dan 77 persen atau dengan kemungkinan 100 sampai 3.600 kali lebih mungkin dibanding periode normal.
Untuk bersiap menghadapi gempa, pada tahun 2007 Jepang meluncurkan sistem peringatan dini gempa nasional pertama di dunia yang tersedia untuk umum. Sistem ini mendeteksi gelombang pertama yang ditimbulkan guncangan di bawah tanah dan bertujuan untuk menyampaikan peringatan sebelum gelombang yang lebih lambat dan merusak setelahnya.
Ketika gempa bumi berkekuatan 9,1 skala Richter melanda Tohoku pada tahun 2011, sistem ini memberi warga Tokyo peringatan selama satu menit sebelum gempa bumi yang kuat terjadi.
Indonesia juga dibayangi gempa besar megathrust. Dalam pernyataannya, Senin (12/8/2024), Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan kekhawatiran ilmuwan Jepang terhadap Megathrust Nankai saat ini sama dengan yang dirasakan ilmuwan Indonesia.
"Khususnya terhadap “Seismic Gap” Megathrust Selat Sunda 8,7 magnitudo dan Megathrust Mentawai-Suberut 8,9 magnitudo. Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata “tinggal menunggu waktu” karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar," katanya.