REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Implementasi konsep environmental, social, and governance (ESG) kerapkali dibenturkan dengan pembiayaan yang tinggi, sehingga butuh kucuran dana yang deras untuk perusahaan agar bisa segera mencapai percepatan pertumbuhan ekonomi hijau. Pandangan itu tidak sepenuhnya benar menurut Duta Besar Singapura untuk Indonesia Kwok Fook Seng.
"ESG bukan praktik pemasaran atau industri, yang begitu Anda melakukannya akan ada manfaat yang langsung terasa," kata Kwok saat hadir sebagai narasumber dalam acara ESG Summit Republika 2024 bertema 'ESG Ala Indonesia' di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta Selatan, Kamis (12/9/2024).
Kwok menekankan persoalan tersebut pada pentingnya pelaporan ESG dalam lanskap bisnis. Pelaporan itu setidaknya mencakup tiga hal, yakni tentang apa yang dilakukan oleh perusahaan atau unit di setiap harinya, bagaimana rantai pasokannya, serta pemanfaatan energi.
"Idealnya, pertumbuhan hijau tidak boleh mengorbankan growth, tetapi masalahnya adalah sulit untuk melakukan itu, inilah tantangannya. Di sinilah pada akhirnya kita akan membuat prioritas. Tapi kalau laporan ESG Anda kuat, standarnya bagus, investor akan mengerti mengapa Anda membuat prioritas itu," jelasnya.
Menurut Kwok, ada nilai elastisitas pada setiap pilihan, misalnya antara memilih sesuatu seharga Rp 50, Rp 5.000, atau Rp 5 juta, nantinya bisa berbeda-beda implementasinya. Hal itu sesuai dengan cara kerja masing-masing perusahaan.
"Jadi ini hubungan antara cara kerja dan pendanaan ESG. Kita tidak harus memberikan dana untuk mencapai ESG. Ini adalah serangkaian perubahan ekosistem," tuturnya.
Di samping itu, Kwok juga menekankan perlunya kolaborasi berbagai stakeholder dalam mewujudkan tujuan yang sama, yakni sustainability. Baik perorangan, perusahaan, pemerintah ataupun regulator.
Sebab, menciptakan ekonomi hijau memang sebuah perjalanan yang tidak mudah dan butuh diwujudkan bersama-sama dalam menciptakan atmosfer yang seirama. Kwok meyakini, seiring berjalannya waktu yang diselimuti dengan kolaborasi, pengimplementasian ESG tak lagi melulu bicara biaya yang mahal.
"(ESG) tidak harus mahal, Anda dapat memulai dengan pilihan yang sangat sederhana. Sebagian aturan umum sekarang, hal-hal yang ramah lingkungan harganya lebih mahal, tetapi seiring waktu semoga biayanya lebih rendah. Jadi itu semua adalah rangkaian masalah," tutur Kwok.
Steering Committee of Muslim for Shared Action on Climate Impact (Mosaic) Rika Novayanti mengungkapkan pandangan yang hampir serupa. Menurut dia, sebagian orang berpandangan, ESG seolah-olah sesuatu yang terpisah dari strategi perusahaan. Padahal ESG erat kaitannya dengan inti strategi perusahaan yang di dalamnya meliputi seluruh pendapatan dan biaya.
Rika mengaku, sebenarnya memahami keresahan yang terjadi mengenai perlunya pendanaan yang besar untuk keberjalanan dan keberlanjutan ESG pada perusahaan. Dia mencontohkan secara konkret mengenai polemik Uni Eropa (UE) yang menyetop ekspor minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia.
Pasalnya, UE memutuskan menggunakan renewable energy yang ramah lingkungan. Alih-alih berusaha membuktikan minyak sawit Indonesia tidak terkait dengan deforestasi, sambung dia, pada saat yang sama ada banyak sokongan dana atau investasi untuk membantu perusahaan minyak kepala sawit di Indonesia agar tetap tumbuh.
"Ini bukan tentang bagaimana Anda menambah pendanaan sehingga dapat melakukan ESG, tetapi lebih tentang bagaimana Anda menghubungkan ESG dengan inti strategi perusahaan Anda," ujar Rika.
Senada dengan Kwok, Rika menekankan, ekosistem ESG adalah yang terpenting. Hal itu meliputi pemerintah, regulator, pelaku usaha, investor, organisasi sosial, dan masyarakat sekitar, termasuk pula utamanya potensi sumber daya alam.
"Jadi seringkali ketika kita berbicara tentang pemangku kepentingan, kita berbicara tentang perusahaan, dan kita berbicara tentang manusia, tetapi kita tidak berbicara tentang keanekaragaman hayati, misalnya. Jadi seluruh ekosistem itu seperti gambaran besar ketika Anda melihat strategi ESG di perusahaan Anda," ujar Rika.