REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pihak berwenang Cina mulai meminta beberapa pemilik kapal asing untuk melaporkan emisi karbon mereka. Langkah ini menandai pengawasan yang lebih ketat terhadap industri perkapalan seiring perubahan kerangka peraturan.
Sumber yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan Cina meminta data dari perusahaan kapal tanker dan kontainer yang berlabuh di pelabuhan Cina. Langkah ini diambil usai Uni Eropa mengadopsi pajak karbon pada kapal yang dapat membantu Cina memperluas sistem perdagangan emisinya untuk mencakup sektor pelayaran.
Namun, belum jelas berapa banyak pelabuhan yang terlibat dalam kebijakan ini. Dikutip dari BNN Bloomberg, Jumat (11/10/2024), kapal laut mengangkut sebagian besar perdagangan dunia, dan keputusan Cina untuk memaksa operator kapal membayar emisi karbon dapat menjadi perubahan besar bagi sektor maritim global.
Sebagai perekonomian terbesar kedua di dunia, Cina merupakan pengimpor minyak mentah terbesar, dan pelabuhan-pelabuhannya termasuk yang tersibuk dalam hal volume kontainer.
Pada Maret lalu, Beijing mendirikan lembaga manajemen emisi karbon untuk sektor pelayaran di Shanghai. Lembaga ini bertugas mengumpulkan data emisi dari kapal berbendera Cina.
Kementerian Transportasi dan Kementerian Ekologi dan Lingkungan yang mengawasi pasar karbon belum menanggapi permintaan komentar terkait hal ini.
Permintaan Cina terhadap pemilik kapal asing ini mengikuti langkah Uni Eropa menerapkan pajak karbon tahun ini. Uni Eropa mewajibkan kapal-kapal yang singgah di pelabuhan blok itu untuk membayar emisi karbon, terlepas dari bendera yang mereka bawa atau di mana perusahaan pemiliknya terdaftar.
Sebagian besar kapal saat ini masih menggunakan bahan bakar berbasis minyak, yang jauh lebih murah dibandingkan alternatif rendah karbon.
"Orang-orang harus memperhitungkan biaya lingkungan karbon ini dalam ekonomi kapal mereka, dalam perjalanan, serta untuk pelanggan mereka," kata juru bicara Vitol Group, pedagang minyak independen terbesar di dunia.
Menurut Badan Energi Internasional (IEA), pada tahun 2022 sektor pelayaran menyumbang sekitar 2 persen dari emisi karbon global yang terkait dengan energi. IEA juga mencatat adanya "kemajuan signifikan" menuju dekarbonisasi industri ini, termasuk inisiatif Uni Eropa serta upaya pembuat kapal di Asia untuk mengembangkan kapal yang menggunakan bahan bakar alternatif.
Beijing yang berjanji nol karbon pada tahun 2060, sedang memperluas sistem perdagangan karbonnya dengan memasukkan lebih banyak industri yang harus membayar untuk polusi mereka. Saat ini, kerangka tersebut mencakup utilitas listrik dan akan diperluas ke produsen baja, aluminium, dan semen.
Namun, kemajuan masih lambat akibat harga dan volume perdagangan yang rendah. Organisasi Maritim Internasional (IMO), regulator industri pelayaran, sedang merancang aturan untuk membantu industri mencapai target pengurangan emisi, kemungkinan melalui standar global, tetapi kemajuannya lambat.
Bloomberg melaporkan sejumlah pemilik kapal tetap khawatir tentang lanskap peraturan yang semakin tidak merata.
"Apakah Cina melakukannya untuk menekan IMO karena kita memerlukan rezim emisi karbon global, atau mereka maju dengan kebijakan ini untuk mengejar ketertinggalan dari Uni Eropa, ada alasan bisnis yang kuat bagi mereka untuk melakukannya," kata kepala penelitian di BRS Shipbrokers Andrew Wilson.
Cina salah satu produsen kapal terbesar di dunia. Stasiun televisi Cina, China Central Television melaporkan penggalangan kapal di negara itu menguasai 70 persen pesanan kapal baru global yang menggunakan bahan bakar bersih seperti LNG, metanol, dan amonia cair selama sembilan bulan pertama tahun ini.