Senin 25 Nov 2024 14:37 WIB

Krisis Sampah Plastik Mengancam Dunia

Sampah plastik mengancam kesehatan manusia.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Seorang anak berenang di antara sampah yang mengapung di laut di Pantai Kalumata Ternate, Maluku Utara, Jumat (15/11/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Andri Saputra
Seorang anak berenang di antara sampah yang mengapung di laut di Pantai Kalumata Ternate, Maluku Utara, Jumat (15/11/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, BUSAN -- Menteri Pembangunan Internasional Norwegia, Anne Beathe Tvinnereim mengatakan dunia tidak akan dapat mengatasi volume sampah plastik dalam satu dekade ke depan. Kecuali, apabila dunia sepakat untuk memangkas produksi plastik.

Tvinnereim mengakui adanya perpecahan yang terjadi antara negara-negara penghasil plastik dengan negara-negara lain. Hal ini ia sampaikan di putaran terakhir pertemuan PBB tentang perjanjian global pertama untuk mengakhiri sampah plastik, di Busan, Korea Selatan, pekan ini.

Baca Juga

Ia mewakili lebih dari 60 negara dengan ambisi tinggi, yang dipimpin Rwanda dan Norwegia. Koalisi ingin agar polusi plastik diatasi sepanjang siklus hidupnya. Hal ini artinya menekan produksi plastik.

Tvinnereim mengatakan, meskipun “perjanjian yang sempurna” tidak mungkin tercapai karena kuatnya penolakan, terutama dari negara-negara penghasil minyak, tetapi ia berharap adanya kesepakatan yang dapat diperkuat dari waktu ke waktu.

"Kami tidak akan mendapatkan perjanjian yang sempurna. Tetapi kami perlu melangkah lebih jauh. Dan saya pikir kami akan berhasil. Saya memilih untuk berharap,” kata Tvinnereim seperti dikutip dari the Guardian, Senin (25/11/2024).

Tvinnereim mengatakan bersama negara-negara koalisi yang "berambisi tinggi", ia akan terus menunjukkan ada sekelompok besar negara yang berpegang teguh pada ambisinya. "Dunia sangat membutuhkan kepemimpinan saat ini, dan sejumlah kabar baik," katanya.

Tahun ini, berbagai peneliti menemukan mikroplastik di setiap sampel plasenta yang mereka uji; di arteri manusia, di mana plastik dikaitkan dengan serangan jantung dan stroke; di testis dan air mani manusia, menambah bukti keberadaan plastik di mana-mana dan menimbulkan risiko pada kesehatan.

Krisis plastik diakui sebagai ancaman bagi kesehatan manusia, keanekaragaman hayati, dan iklim. Dua tahun lalu, 175 negara sepakat mengadopsi mandat negosiasi perjanjian global yang mengikat secara hukum untuk menangani seluruh siklus hidup plastik.

Namun sampai saat ini, para delegasi masih terpecah tentang apa yang harus dilakukan. Sementara, tenggat waktu untuk mengadopsi mandat itu semakin dekat. Kemajuan negosiasi terhenti karena adanya perdebatan mengenai perlunya pemotongan industri plastik senilai 712 miliar dolar AS.

Pembicaraan terakhir pada bulan April lalu gagal mencapai kesepakatan untuk menempatkan target produksi yang dianggap sebagai langkah terpenting untuk mengurangi sampah plastik. Putaran terakhir perundingan yang dimulai pada Senin ini dan akan berakhir pada 1 Desember mendatang menjadi sangat penting.

“Tentu saja kita harus meningkatkan daur ulang dan pengelolaan sampah, tetapi jika kami tidak mengurangi produksi dan konsumsi, kami tidak akan mampu mengatasi volume plastik dalam sistem 10 tahun dari sekarang,” kata Tvinnereim.

Penggunaan plastik diperkirakan naik tiga kali lipat pada tahun 2060, terbanyak akan terjadi di sub-Sahara Afrika dan Asia. Sampah plastik juga diproyeksikan meningkat tiga kali lipat pada tahun 2060, dengan setengahnya berakhir di tempat pembuangan sampah dan kurang dari seperlima didaur ulang.

Tvinnereim menegaskan kesepakatan untuk "menghentikan penggunaan" plastik sekali pakai serta larangan penggunaan bahan kimia beracun pada plastik termasuk yang bersentuhan dengan makanan dan mainan anak "sudah jelas". Banyak negara yang sudah melarang penggunaan plastik sekali pakai.

Negosiasi yang alot menghasilkan pandangan yang berbeda-beda. Negara-negara minyak seperti Arab Saudi, Rusia, dan Iran, yang dijuluki sebagai kelompok yang “berpikiran sama”, menghindari pengurangan produksi.

Mereka lebih menekankan pada pengelolaan sampah sebagai solusi utama untuk mengatasi krisis ini. Negara-negara berkembang, yang menanggung konsekuensi dari kelebihan produksi plastik yang membebani sistem limbah mereka yang tidak memadai, menyerukan pemangkasan produksi plastik di seluruh dunia.

Ketidakpastian yang menyelimuti pembicaraan di Busan diperburuk posisi AS. Salah satu produsen plastik terbesar di dunia, AS baru-baru ini mengisyaratkan akan mendukung perjanjian yang menyerukan pembatasan produksi.

Namun, kembalinya Donald Trump, yang merupakan pendukung bahan bakar fosil, sebagai presiden AS pada bulan Januari, menimbulkan keraguan. Tvinnereim mengatakan AS akan “sangat disambut baik” untuk bergabung dengan koalisi tersebut.

Ia menambahkan Cina dan negara lainnya juga memiliki peluang untuk memimpin upaya pengurangan produksi sampah di seluruh dunia.

"Jika kami dapat melihat Cina melangkah maju, seperti yang telah kami lihat di tempat lain dan di dalam negeri, kami  memiliki peluang bagus untuk menciptakan instrumen yang efektif. Jika tidak, maka akan sangat sulit," kata seorang negosiator dari salah satu negara yang memiliki "ambisi tinggi". 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement