Selasa 03 Dec 2024 12:02 WIB

Mengurai Tantangan Pengembangan Energi Panas Bumi

Indonesia belum memaksimalkan besarnya potensi panas bumi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Petani beraktivitas di sekitar sumur produksi PLTP PT Geo Dipa Energi di kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Selasa (6/9/2022).
Foto: ANTARA/Anis Efizudin
Petani beraktivitas di sekitar sumur produksi PLTP PT Geo Dipa Energi di kawasan dataran tinggi Dieng Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah, Selasa (6/9/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Energi panas bumi atau geothermal yang tersedia sepanjang waktu, membutuhkan lahan yang tidak terlalu besar dan dianggap salah satu sumber energi bersih menjadi opsi ideal bagi negara-negara seperti Indonesia dan Filipina. Indonesia dan Filipina merupakan negara yang memiliki potensi geothermal yang besar dan ingin beralih dari bahan bakar fosil ke energi bersih.

Namun potensi energi geothermal yang menggunakan panas yang dihasilkan bumi dari sumber air panas bawah tanah untuk menggerakkan turbin yang menghasilkan listrik, belum dimanfaatkan secara maksimal di Indonesia dan Filipina maupun di seluruh dunia. Isu pendanaan, peraturan dan masyarakat menahan perkembangannya.

Isu-isu seperti pendanaan yang kini lebih mudah diakses dan perubahan peraturan dalam negeri mulai mengatasi hambatan ini. Tetapi para ahli mengatakan lebih banyak yang harus dilakukan untuk membuka sumber energi bersih yang sangat besar yang terperangkap tepat di bawah permukaan bumi.

Negara-negara yang memiliki potensi geothermal besar seperti Amerika Serikat (AS), Indonesia, dan Filipina biasanya terletak dekat wilayah tektonik aktif, yang mana air atau uap panas terbawa ke permukaan bumi melalui aktivitas vulkanik atau dapat diakses dengan pengeboran dangkal.

"Pada dasarnya kita berdiri di matahari kita sendiri, yang memberi kita energi bersih dan dapat diandalkan," kata CEO International Geothermal Association Marit Brommer, Selasa (2/12/2024).

Pakar juga mengatakan pembangkit listrik tenaga geothermal memiliki kemampuan menyalurkan listrik sepanjang waktu, tidak tergantung pada cuaca, berumur panjang dan tidak membutuhkan terlalu banyak perawatan. Ketika semakin banyak negara yang beralih ke energi bersih dan terbarukan.

Pembangkit listrik tenaga panas bumi diperkirakan akan terus tumbuh. Badan Energi Internasional (IEA) memprediksi pembangkit listrik tenaga geothermal Asia Tenggara akan tumbuh sepuluh kali lipat dari tahun 2020 sampai 2050, mencapai 276 juta megawatt per jam.

Dua negara Asia Tenggara yakni Indonesia dan Filipina yang terletak di lempeng aktif yang dikenal "Ring of Fire" merupakan pengguna geothermal kedua dan ketiga terbesar di dunia dengan potensi geothermal tertinggi. AS berada di urutan satu.

Padahal, Indonesia hanya menggunakan kurang dari sepersepuluh dari cadangannya yang sangat besar, yaitu 6 persen untuk pasokan listriknya. Filipina baru mengembangkan sekitar 8 persen kapasitas panas buminya sekitar 14,6 persen dari penggunaan energi negara tersebut, sumber energi terbarukan terbesar di negara tersebut.

Kedua negara berencana memperluas penggunaan energi panas bumi saat mereka beralih dari bahan bakar fosil: Indonesia ingin meningkatkan penggunaan pembangkit listrik tenaga panas bumi setidaknya 8 persen pada tahun 2030, menjadikannya sumber energi terbarukan terbesar kedua setelah tenaga air.

Sementara, Pemerintah Filipina menargetkan beberapa proyek untuk meningkatkan kapasitas panas bumi dengan menambahkan hampir 1,5 gigawatt. Hampir dua kali lipat penggunaannya saat ini.

Pakar energi di Bank Pembangunan Asia (ADB) Shigeru Yamamura mengatakan tahap eksplorasi yakni ketika perusahaan menguji dan melakukan pengeboran untuk memastikan ukuran, suhu, tekanan dan potensi produksi di suatu lokasi, mahal dan beresiko. Yamamura mengatakan hal ini mempersulit akses ke pendanaan untuk pengembangan.

"Ini bagian yang paling sulit untuk pengembang, karena (untuk pendanaan) mereka tidak bisa mengambil sendiri 100 persen resiko eksplorasi," kata Yamamura.

Pendanaan Iklim untuk pengembangan geothermal masih sangat terbatas untuk sebagian besar negara Asia Tenggara. Hanya sekitar 9 persen pendanaan untuk ASEAN. Dalam laporan energi 2024, ASEAN akan menggunakan "pendanaan campuran" antara dana pemerintah dan swasta, hibah, dan produk keuangan hijau untuk menutup kekurangan pendanaan.

Pemerintah Filipina mengumumkan skema lelang energi hijau untuk energi panas bumi dan sedang mempersiapkan "rencana jaringan hijau cerdas" yang memprioritaskan energi terbarukan. Skema ini penting untuk memungkinkan pengembang swasta memperoleh pembiayaan dari bank.

Yamamura mengatakan pengumuman ini menandakan adanya kemajuan dalam kebijakan yang mendukung investasi.

Presiden Indonesia Prabowo Subianto memfokuskan perhatiannya pada panas bumi sebagai bagian dari transisi energi di Indonesia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan mereka sedang berupaya untuk mempersingkat waktu perizinan dan mempertimbangkan cara-cara untuk meningkatkan tingkat pengembalian investasi dalam proyek-proyek panas bumi.

Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga menyatakan komitmennya untuk meningkatkan pengembangan energi panas bumi. Bank Dunia memberikan pinjaman sebesar 150 juta dolar AS untuk meningkatkan investasi di energi panas bumi Indonesia dengan mengurangi risiko eksplorasi tahap awal. Green Climate Fund dan Clean Technology Fund menyediakan dana sebesar 127,5 juta dolar AS.

Bahkan ketika pendanaan telah diperoleh, penolakan dari masyarakat dapat memperlambat pembangunan. Di Indonesia, penduduk desa-desa memprotes proyek-proyek tersebut, dengan alasan keamanan dan lingkungan: dalam lima tahun terakhir beberapa lokasi panas bumi di Indonesia mengalami kebocoran gas yang mematikan.

Seorang mahasiswa doktoral di bidang pembangunan global di Cornell University Timothy Ravis mengatakan beberapa masyarakat Indonesia tidak memahami apa itu energi panas bumi dan bagaimana mereka dapat memperoleh manfaat dari pengembangannya. Protes di lokasi panas bumi di Filipina membuat setidaknya satu perusahaan membayar kompensasi kepada kelompok-kelompok masyarakat adat yang khawatir eksplorasi panas bumi mengakibatkan degradasi lahan.

Brommer mengatakan pemerintah dan perusahaan harus bekerja untuk mendapatkan persetujuan dari masyarakat di sekitar proyek untuk membantu memastikan proyek-proyek tersebut berhasil.

"Kita perlu menunjukkan bahwa pengembangan ini menguntungkan semua orang, bukan hanya perusahaan, ini bukan tentang menjadi tetangga yang baik, ini tentang menjadi tetangga terbaik dan benar-benar bekerja sama dengan masyarakat untuk menghormati keprihatinan mereka," kata Brommer.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement