REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Upaya melindungi bumi hanya dapat berhasil jika negara-negara sepakat mengambil langkah kolektif. Namun, serangkaian pertemuan lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sepanjang 2024 mencerminkan kegagalan mencapai kesepakatan penting terkait polusi plastik, keanekaragaman hayati, dan kekeringan.
Pada pertemuan perubahan iklim PBB di Baku, Azerbaijan, negara-negara kaya berjanji menyediakan dana sebesar 300 miliar dolar AS per tahun untuk membantu negara-negara berkembang beradaptasi dengan perubahan iklim. Namun, angka ini masih jauh dari target yang diharapkan, yakni 1,3 triliun dolar AS per tahun.
"Semakin sulit mencapai kesepakatan ambisius yang dapat mengatasi masalah global seperti perubahan iklim dan polusi plastik. Tantangan ini bersifat sistemik dan tertanam dalam struktur ekonomi global," ujar Maria Ivanova, Direktur Kajian Kebijakan Publik dan Perkotaan di Northeastern University, dikutip dari The Japan Times.
Proses negosiasi semakin kompleks akibat polarisasi politik, pengaruh kuat perusahaan multinasional, dan keterbatasan anggaran pemerintah. Juan Carlos Monterrey-Gomez, perwakilan Panama untuk perubahan iklim, menilai bahwa ketika konsensus tercapai, hasilnya sering kali terlalu lemah.
"Teks kesepakatan yang dihasilkan sangat lemah dan tidak cukup untuk mengatasi permasalahan mendesak," kata Monterrey-Gomez, yang mengikuti empat negosiasi iklim utama tahun ini.
Kegagalan juga terlihat dalam perundingan plastik global di Busan, Korea Selatan. Meskipun mendapat dukungan besar dari publik dan pelaku bisnis, para negosiator gagal mencapai kesepakatan untuk mengurangi produksi plastik dan menghapus bahan kimia berbahaya.
Pertemuan Keanekaragaman Hayati di Cali, Kolombia, juga berakhir tanpa kesepakatan berarti. Negara-negara tidak sepakat mengenai pembentukan dana global untuk perlindungan alam, sementara pertemuan tentang kekeringan dan penggurunan di Riyadh, Arab Saudi, gagal menetapkan mekanisme global yang efektif.
Menurut Jean-Frederic Morin, Profesor dari Laval University, Kanada, lambatnya kesepakatan bukan hanya karena perundingan semakin sulit, tetapi juga akibat banyaknya perjanjian yang sudah ada. "Negosiator harus fokus memperkuat kesepakatan yang sudah ada daripada menciptakan yang baru," ujarnya.
Monterrey-Gomez mengusulkan metode pemungutan suara untuk mempercepat proses kesepakatan, alih-alih mencari konsensus yang sering berujung buntu. Sementara itu, Ivanova menekankan pentingnya aliansi kecil yang lebih fleksibel.
"Minilateralisme muncul sebagai pendekatan yang lebih gesit. Aliansi kecil dapat mendorong adopsi tujuan bersama yang lebih luas," tambah Ivanova.
Meski banyak hambatan, harapan untuk kesepakatan lingkungan global yang lebih efektif masih ada. Diperlukan komitmen lebih kuat, pendekatan yang lebih inovatif, serta keberanian untuk mengambil langkah-langkah konkret demi masa depan planet ini.
Tahun 2024 mungkin menjadi pengingat bahwa tanpa kerja sama kolektif dan tindakan nyata, tujuan global untuk membatasi kenaikan suhu bumi hingga 1,5 derajat Celcius akan semakin sulit tercapai.