Selasa 07 Jan 2025 18:40 WIB

Perluas Lahan Sawit Dinilai Bertentangan dengan Komitmen Penurunan Emisi

Perluasan lahan sawit berpotensi meningkatkan emisi karbon

Rep: Frederikus Bata/ Red: Intan Pratiwi
Aktivis Greenpeace membentangkan poster dan spanduk dalam aksi memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan Hari Sepeda Sedunia di Jalan Sudirman, Semanggi, Jakarta, Ahad (5/6/2022). Aksi bersama Greenpeace dan Bike2Work tersebut bertujuan mendorong agar sepeda menjadi solusi pembangunan rendah karbon dan Jakarta menjadi kota ramah bagi pengguna sepeda.Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Aktivis Greenpeace membentangkan poster dan spanduk dalam aksi memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan Hari Sepeda Sedunia di Jalan Sudirman, Semanggi, Jakarta, Ahad (5/6/2022). Aksi bersama Greenpeace dan Bike2Work tersebut bertujuan mendorong agar sepeda menjadi solusi pembangunan rendah karbon dan Jakarta menjadi kota ramah bagi pengguna sepeda.Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Greenpeace Indonesia menilai rencana Presiden Prabowo Subianto untuk memperluas lahan sawit bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon. Rencana ini, yang diusung demi mencapai swasembada energi nasional, memicu kekhawatiran akan meningkatnya emisi karbon dan menjauhkan Indonesia dari cita-cita transisi energi yang berkelanjutan.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menegaskan bahwa pembukaan hutan dengan alasan apa pun sangat berbahaya dan merugikan. Langkah ini bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris, yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 6 Tahun 2016.

"Pembukaan lahan hutan akan melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar dan memperparah krisis iklim yang sudah terjadi. Ancaman kekeringan, banjir, dan kebakaran hutan akan semakin tinggi. Alasan ketahanan pangan, energi, dan sumber air hanya kedok untuk menguntungkan segelintir pihak di industri kelapa sawit," ujar Iqbal dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (7/1/2025).

Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, menyebut rencana perluasan lahan sawit hingga 20 juta hektare jauh melampaui alokasi dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 7/2021. Regulasi tersebut hanya mengalokasikan 12,8 juta hektare hutan produksi konversi (HPK) untuk cadangan energi dan pangan.

"Pembukaan hutan seluas 4,5 juta hektare saja sudah melepaskan 2,59 miliar ton emisi karbon. Rencana ini menunjukkan kurangnya komitmen pemerintah dalam reforestasi dan rehabilitasi hutan alam. Di tengah krisis iklim, kita tidak punya kemewahan untuk terus melakukan deforestasi," kata Amalya.

Menurutnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih memiliki pekerjaan rumah untuk menyelesaikan tata batas kawasan hutan. Tanpa penyelesaian tersebut, klaim bahwa perluasan sawit tidak akan menyebabkan deforestasi menjadi tidak berdasar.

Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati, menegaskan bahwa deforestasi akibat ekspansi sawit bukan hanya tentang hilangnya hutan dan meningkatnya emisi karbon, tetapi juga kerusakan ekosistem.

"Pernyataan bahwa sawit tidak akan menyebabkan deforestasi adalah keliru. Sawit bersifat monokultur dan akan menghancurkan fungsi hutan sebagai ekosistem alami bagi keanekaragaman hayati, merusak struktur tanah, dan mengganggu sistem hidrologi," jelas Sartika.

Selain itu, ekspansi sawit juga mengancam lahan gambut yang memiliki peran penting sebagai penyerap emisi karbon alami. Dengan luas ekosistem gambut Indonesia mencapai 24,66 juta hektare, dan sekitar 3 juta hektare di antaranya sudah menjadi perkebunan sawit, perluasan ini berpotensi meningkatkan risiko kebakaran lahan saat musim kemarau.

Amalya menyoroti bahwa kebijakan energi Indonesia yang mendorong bioenergi turut berkontribusi pada perluasan sawit. Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN), Indonesia menargetkan pemanfaatan bioenergi sebagai sumber energi terbarukan utama hingga 2040.

"Emisi dari pembukaan hutan dan pembakaran sawit untuk biofuel dan biomassa di PLTU akan memperparah krisis iklim. Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan bioenergi, terutama yang berbasis sawit dan kayu," ujar Amalya.

Swasembada energi memang penting, namun menurut Sartika, jika dicapai dengan mengorbankan ekosistem hutan dan lahan gambut, maka upaya ini justru menciptakan masalah lingkungan yang lebih kompleks.

"Jangan sampai kita menyelesaikan satu masalah, tetapi justru menciptakan masalah baru yang lebih besar," tutup Sartika.

Pemerintah diharapkan untuk meninjau ulang rencana ekspansi sawit demi memastikan komitmen penurunan emisi dan perlindungan lingkungan tetap sejalan dengan tujuan transisi energi yang berkelanjutan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement