Selasa 14 Jan 2025 09:52 WIB

Indeks Kesehatan Laut Indonesia Turun, Sejumlah Faktor Ini Jadi Pemicu

Penangkapan ikan dengan alat tak ramah lingkungan masih marak.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Seorang anak berenang antara sampah yang mengapung di laut di Pantai Kalumata Ternate, Maluku Utara, Jumat (15/11/2024). Menurut warga setempat, tumpukan sampah yang didominasi sampah plastik di sekitar pesisir pantai tersebut karena kebiasaan masyarakat di daerah itu setiap hari membuang sampah sembarangan sehingga dapat mencemari lingkungan dan merusak biota laut di perairan Ternate serta  mengganggu kenyamanan warga saat berenang.
Foto: ANTARA FOTO/Andri Saputra
Seorang anak berenang antara sampah yang mengapung di laut di Pantai Kalumata Ternate, Maluku Utara, Jumat (15/11/2024). Menurut warga setempat, tumpukan sampah yang didominasi sampah plastik di sekitar pesisir pantai tersebut karena kebiasaan masyarakat di daerah itu setiap hari membuang sampah sembarangan sehingga dapat mencemari lingkungan dan merusak biota laut di perairan Ternate serta mengganggu kenyamanan warga saat berenang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ocean Health Index (OHI) Indonesia saat ini berada pada peringkat 189 dari 220 wilayah. Skor Indeks Kesehatan Laut Indonesia secara keseluruhan adalah 61 dari 100, lebih rendah dibandingkan skor rata-rata global yang sebesar 69.

Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI), mendesak adanya upaya untuk kembali menyehatkan laut Indonesia. “Indeks kesehatan laut (OHI) global turun dari 73 menjadi 69, OHI Indonesia sendiri turun dari 69 menjadi 61, dari urutan 152 menjadi urutan 189 dari 220. Dari 11 indikator, yang paling rendah adalah indikator laut sebagai pariwisata dan rekreasi skornya 9," kata Ketua KPPMPI Hendra Wiguna, dalam pernyataannya, Selasa (14/1/2025).

Baca Juga

Hendra mengatakan indikator tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan wilayah pesisir dan laut sebagai destinasi wisata belum mengedepankan keberlanjutan ekosistem. Sementara, skor Indonesia dalam indikator laut sebagai sumber pangan hanya 25.

Angka ini, katanya, menunjukkan praktik pengelolaan pangan perikanan, baik itu perikanan tangkap maupun budi daya, masih jauh dari praktik berkelanjutan.

“Sudah banyak kebijakan yang dibuat untuk mendukung praktik pengelola perikanan yang berkelanjutan, namun dalam implementasinya masih jauh panggang dari api," katanya.

Ia menyebut masih marak aktivitas penangkapan ikan menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan di Sumatra Utara dan penggunaan bom di Simeulue Aceh dan Halmahera Selatan Maluku Utara, ataupun kegiatan budi daya yang belum menerapkan Cara Budi Daya Ikan yang Baik (CBIB) seperti di Gresik, Jawa Timur.

Menurut Hendra, praktik perikanan yang belum mengindahkan keberlanjutan ini akan menghambat pencapaian presiden dalam memperkuat sektor pangan. KPPMPI meminta agar pemerintah memperhatikan kesehatan laut.

Hendra menambahkan, di tengah memburuknya dampak dari perubahan iklim yang menjadikan risiko melaut semakin tinggi, upaya menjaga dan memulihkan keberlanjutan ekosistem pesisir dan laut menjadi sangat penting untuk mendukung kegiatan usaha nelayan dan pembudidaya serta pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan.

“Ke depan, pemerintah dalam setiap kebijakannya harus benar-benar memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan laut dan pesisir. Sehingga tidak menjadi persoalan baik dalam prosesnya maupun dimasa mendatang, serta harus responsif terhadap aspirasi masyarakat," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement