Kamis 16 Jan 2025 17:25 WIB

Walhi Dorong Hapus Regulasi yang Rugikan Lingkungan Hidup

Kriminalisasi dan intimidasi terhadap pelaku lingkungan harus diminimalkan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Seorang mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura memasang poster saat memperingati Hari Bumi di Bundaran Digulis, Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu (24/4/2021). Dalam aksi damai BEM Fakultas Kehutanan Sylva Indonesia PC Untan tersebut mereka mengajak masyarakat untuk mencintai bumi dan peduli pada hutan agar tidak terjadi deforestasi serta pemanasan global.
Foto: Antara/Jessica Helena Wuysang
Seorang mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura memasang poster saat memperingati Hari Bumi di Bundaran Digulis, Pontianak, Kalimantan Barat, Sabtu (24/4/2021). Dalam aksi damai BEM Fakultas Kehutanan Sylva Indonesia PC Untan tersebut mereka mengajak masyarakat untuk mencintai bumi dan peduli pada hutan agar tidak terjadi deforestasi serta pemanasan global.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) meminta pemerintah  menghapus regulasi yang dianggap merugikan lingkungan hidup dan melemahkan peran serta masyarakat dalam upaya penyelamatan lingkungan.

Deputi Eksternal Wahana Lingkungan Hidup, Mukri Friatna, menyoroti beberapa kebijakan yang perlu dicabut untuk memastikan keberlanjutan lingkungan di Indonesia.

Baca Juga

Mukri mengungkapkan harapannya agar produk hukum yang dianggap merugikan, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, segera dihapus.  "Kami meminta agar pasal-pasal yang melemahkan lingkungan hidup dihapus. Jika tidak, dampaknya akan sangat merugikan," ujarnya dalam peluncuran Tinjauan Lingkungan Hidup Walhi 2025, Kamis (16/1/2025).

Ia menekankan, regulasi yang ada saat ini tidak sejalan dengan upaya perlindungan lingkungan yang seharusnya menjadi prioritas. Salah satu regulasi yang menjadi sorotan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023, yang mengatur tentang reklamasi dan penambangan pasir laut.

Mukri menilai kolaborasi antara pengusaha dan pemerintah dalam rekomendasi reklamasi perlu dievaluasi. "Rekomendasi ini sudah dialokasikan untuk reklamasi dan penambangan pasir laut seluas 30 meter, yang seharusnya tidak dilakukan di wilayah-wilayah yang hanya memiliki 21 meter," jelasnya.

Lebih lanjut, Mukri menyoroti pentingnya menjaga hutan alam dan memastikan akses masyarakat terhadap reformasi perhutanan. "Dari total 3,5 juta hektare hutan, kita harus memastikan bahwa masyarakat yang telah mendapatkan akses reformasi tidak terpinggirkan," katanya.

Ia menekankan target perhutanan sosial yang belum tercapai harus menjadi perhatian serius pemerintah. Mukri juga mengingatkan tata ruang harus dievaluasi secara berkala, terutama menjelang momentum evaluasi setiap lima tahun.

"Kami berharap tata ruang yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat dapat dihapus. Proses perencanaan harus melibatkan masyarakat secara aktif," ujarnya.

Dalam konteks reklamasi, Mukri menegaskan pemerintah harus segera mencabut pasal-pasal yang berkaitan dengan reklamasi yang merugikan lingkungan. "Kami meminta dengan tegas agar pasal-pasal terkait reklamasi segera dicabut. Anggaran untuk perlindungan lingkungan juga harus ditingkatkan," tambahnya.

Mukri mengatakan,  pengurangan emisi karbon dan pengelolaan sampah harus menjadi prioritas pemerintah. "Jika pemerintah tidak mampu mengatasi masalah ini, maka akan ada dampak serius bagi lingkungan dan masyarakat," pungkasnya.

Sebagai penutup, Mukri mengingatkan bahwa tindakan kriminalisasi dan intimidasi terhadap pelaku lingkungan harus diminimalkan. "Kami berharap pemerintah dapat mendidik masyarakat tentang pentingnya perlindungan lingkungan tanpa harus menggunakan pendekatan yang merugikan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement