REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Negosiasi perjanjian plastik global akan kembali digelar pada 5 sampai 14 Agustus mendatang. Pada Selasa (4/3/2024), Program Lingkungan PBB (UNEP) mengatakan negosiasi ini akan dilaksanakan di Jenewa, Swiss.
Negosiasi ini digelar setelah negara-negara gagal membuat kesepakatan dalam Pertemuan Polusi Plastik PBB di Busan, Korea Selatan, pada Desember lalu.
Pertemuan kelima Komite Negosiasi Antarpemerintah PBB (INC-5) di Busan seharusnya menjadi negosiasi terakhir perjanjian polusi plastik global yang mengikat secara hukum. Tapi, negara-negara belum menyepakati isu-isu mendasar dan sepakat untuk menunda keputusan penting pada pertemuan berikutnya yang dinamakan INC-5.2.
Isu yang paling diperdebatkan di Busan, antara lain, mengenai batas produksi plastik, pengelolaan produk plastik, dan isu bahan kimia serta pendanaan bagi negara berkembang untuk mengimplementasikan perjanjian.
Lebih dari 100 negara mendukung rancangan perjanjian yang akan membuka jalur untuk target pengurangan produksi plastik global. Sementara, rancangan lainnya yang didukung negara penghasil minyak tidak memasukkan target produksi plastik.
Pertemuan di Swiss tampaknya menghadapi lebih banyak hambatan untuk mencapai kesepakatan. Pasalnya, negara-negara berkumpul kembali ketika lanskap geopolitik sudah berubah. Negara-negara semakin terfragmentasi dan situasi diplomasi kian menegang.
Presiden Donald Trump menarik Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris. Pemerintah Trump juga memangkas pendanaan internasional untuk mengatasi perubahan iklim dan menerapkan tarif perdagangan pada sejumlah sekutu AS seperti Kanada dan Meksiko.
Uni Eropa juga menunjukkan tanda-tanda akan memperlemah kebijakan iklimnya, seperti memberi lebih banyak waktu pada produsen-produsen kendaraan untuk memenuhi standar emisi karbon dan memberikan banyak perusahaan mendapat pengecualian dalam denda karbon.
Pertemuan Perubahan Iklim PBB di Baku, Azerbaijan menunjukkan kerja sama iklim sudah mulai retak. Meski negara-negara berhasil mencapai kesepakatan mengenai target pembiayaan global sebesar 300 miliar dolar AS per tahun.