REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) sedang merevisi Undang-Undang Kehutanan untuk memperjelas berbagai aspek yang dianggap usang dan menimbulkan masalah di lapangan. Anggota Komisi VI DPR Darori Wonodipuro mengungkapkan ada beberapa poin penting yang menjadi fokus dalam revisi ini.
Darori menjelaskan, salah satu poin utama adalah penegasan hukum terkait perlindungan air dan tumbuhan di daerah sungai. Hal ini menjadi krusial mengingat dampak penghapusan ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang berujung pada bencana banjir.
"Apa tindakan kita yang dipayungi dengan Undang-Undang? Karena 30 persen dihapus, mungkin dengan cara lain kita akan bicarakan, kita minta masukan," katanya di sela diskusi Menavigasi Rencana Revisi Undang-undang Kehutanan, Selasa (18/3/2025).
Revisi ini juga akan mempertegas penunjukan kawasan hutan sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan adanya penunjukan, pengukuran, pemetaan, dan penetapan yang jelas. Darori menambahkan bahwa kawasan hutan yang sudah ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (DGAK) serta hutan register peninggalan Belanda akan dipertegas statusnya.
Isu penting lainnya adalah pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Darori mengakui bahwa implementasi ketentuan mengenai tanah adat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 belum berjalan efektif karena terkendala pembuktian melalui peraturan daerah. "Ternyata ini tidak berjalan, maka kita akan mengakomodir masyarakat adat dengan cara yang lebih mudah," katanya.
Salah satu usulan yang tengah dibahas adalah mekanisme persetujuan tanah adat melalui evaluasi tim kajian, laporan ke DPR, dan rekomendasi Menteri Kehutanan. Hal ini diharapkan dapat mempermudah masyarakat adat dalam mendapatkan pengakuan atas hak tanahnya.
Revisi UU Kehutanan juga menyasar peningkatan efek jera bagi pelaku kejahatan di sektor kehutanan. Darori mencontohkan keberhasilan peningkatan hukuman dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, di mana pelaku pembunuhan harimau kini dapat dipidana hingga 15 tahun. "Di Undang-Undang ini, selain didenda, juga ada sanksi penjara," tegasnya.
Terkait pemanfaatan kawasan hutan untuk kepentingan lain seperti pertambangan dan pembangunan infrastruktur, Darori mengungkapkan adanya perubahan sistem dari pinjam pakai menjadi sewa pakai. Dana hasil sewa tersebut akan digunakan untuk menanam pohon di lahan-lahan kritis.
Menanggapi isu adanya titipan kepentingan dalam revisi ini, Darori dengan tegas membantahnya. Sebagai mantan Direktur Jenderal di Kementerian Kehutanan, ia mengaku memahami seluk-beluk permasalahan kehutanan dan berkomitmen untuk memperjuangkan kepentingan rakyat serta kelestarian hutan.
"Kalau saya tidak ada, karena saya mantan dirjennya, jadi tahu, yang ditipu akan ketahuan. Saya penting kepentingan rakyat dan bagaimana hutannya lestari, rakyatnya sejahtera," ujarnya.
Darori menargetkan revisi UU Kehutanan ini dapat diselesaikan dalam waktu satu tahun. Untuk itu, DPR RI akan menggelar maraton pembahasan dengan melibatkan berbagai pakar, termasuk pihak-pihak yang kritis terhadap isu kehutanan. "Undang-undang ini harus selesai dalam satu tahun," katanya.