Senin 02 Jun 2025 20:51 WIB

Longsor Tambang Cirebon Bukan Bencana Alam, Ini Penjelasan BNPB

Tidak ada pemicu alami seperti hujan atau gempa.

Petugas gabungan dengan alat berat mencari korban longsor yang tertimbun bebatuan di lokasi galian C, Cipanas, Dukuhpuntang, Kab. Cirebon, Jawa Barat, Jumat (30/5/2025).
Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
Petugas gabungan dengan alat berat mencari korban longsor yang tertimbun bebatuan di lokasi galian C, Cipanas, Dukuhpuntang, Kab. Cirebon, Jawa Barat, Jumat (30/5/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menegaskan longsor di tambang galian C Gunung Kuda, Cirebon, bukan disebabkan faktor alam. Peristiwa yang menewaskan puluhan pekerja itu dikategorikan sebagai kecelakaan kerja akibat aktivitas penambangan yang mengabaikan keselamatan.

“Longsor di Gunung Kuda, Cirebon, bukan bencana alam, tetapi kecelakaan kerja,” ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam konferensi daring Disaster Briefing yang dipantau dari Jakarta, Senin.

Baca Juga

Abdul menyebut tidak ada pemicu alami seperti hujan atau gempa pada Jumat (30/5), sehingga longsor diduga kuat akibat pengerukan bukit secara masif tanpa memperhatikan faktor keamanan.

Temuan ini sejalan dengan hasil penyelidikan Kepolisian Resor Kota (Polresta) Cirebon yang menetapkan dua tersangka: pemilik tambang dan kepala teknik tambang.

“Longsor karena aktivitas penambangan yang mengabaikan keselamatan. Tidak ada hujan atau gempa sebelum kejadian,” kata Abdul.

Ia menambahkan, kawasan Gunung Kuda memang tergolong wilayah rawan longsor, dan kondisinya kian memburuk akibat aktivitas tambang. Berdasarkan pemantauan citra satelit, kerusakan lahan akibat tambang sudah terdeteksi sejak 2009 dan meningkat tajam sejak 2019.

Kemiringan lereng Gunung Kuda bahkan telah mencapai 60 derajat atau dua kali lipat dari ambang aman.

“Dalam kondisi alami, kemiringan 30 derajat saja sudah berisiko longsor. Kini lerengnya 60 derajat, dan itu akibat penambangan,” ungkapnya.

Abdul mengingatkan agar pemerintah daerah memperketat pengawasan tambang. Ia menyebut longsor ini adalah kejadian ketujuh yang berdampak signifikan di Cirebon sejak 2020.

“Jawa Barat mencatat 1.515 kejadian longsor, tertinggi nasional. Cirebon sudah enam kali longsor dari 2020 hingga 2024, dan ini yang ketujuh,” jelasnya.

Meski begitu, ia mengapresiasi respons cepat Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Cirebon yang langsung menetapkan status tanggap darurat untuk mempercepat evakuasi.

Hingga Senin sore, BNPB mencatat 21 korban meninggal dunia berhasil dievakuasi. Salah satu korban terbaru yang ditemukan adalah Sudiono (51), warga Desa Girinata, Kecamatan Dukupuntang, Cirebon.

Tim SAR gabungan masih mencari empat korban lain yang dilaporkan hilang. “Operasi SAR masih berlangsung. Kami minta petugas tetap mengutamakan keselamatan,” kata Abdul Muhari.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement