Selasa 10 Jun 2025 18:15 WIB

Industri Daur Ulang Sambut Aturan Pengelolaan Sampah Produsen

Praktik pemilahan sampah belum berjalan optimal di Indonesia.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Aktivitas operasional Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Tegallega, Kota Bandung, yang dilengkapi dengan mesin canggih, Selasa (14/1/2025). TPST Tegalega memiliki peran strategis untuk mendukung pengelolaan sampah di Kota Bandung, sekaligus mendukung keberlanjutan industri dengan solusi berbasis ekonomi sirkular. Sampah yang diolah di TPST ini merupakan hasil pemilahan dari TPS lain dan sampah dari taman-taman di Kota Bandung.
Foto: Edi Yusuf
Aktivitas operasional Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Tegallega, Kota Bandung, yang dilengkapi dengan mesin canggih, Selasa (14/1/2025). TPST Tegalega memiliki peran strategis untuk mendukung pengelolaan sampah di Kota Bandung, sekaligus mendukung keberlanjutan industri dengan solusi berbasis ekonomi sirkular. Sampah yang diolah di TPST ini merupakan hasil pemilahan dari TPS lain dan sampah dari taman-taman di Kota Bandung.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) menyatakan dukungan penuh terhadap langkah pemerintah yang akan mewajibkan kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) dalam pengelolaan sampah plastik. Wakil Ketua Umum ADUPI, Justin Wiganda, meyakini EPR akan menjadi solusi krusial dalam menyuplai bahan baku ke industri daur ulang, melalui sistem pemilahan sampah yang lebih efektif dan terstruktur.

"Dengan adanya pemilahan, maka akan lebih banyak bahan baku untuk industri daur ulang," tegas Justin, Selasa (10/6/2025).

Baca Juga

Justin menjelaskan bahwa koleksi dan pemilahan adalah dua tantangan utama sekaligus prasyarat vital bagi kemajuan industri daur ulang. "Mengumpulkannya itu biaya, memilahnya juga biayanya. Terlepas barangnya mau mahal atau murah, itu sudah jadi fixed cost," tambahnya.

Meski demikian, Justin mengakui bahwa praktik pemilahan saat ini masih dominan di kota-kota besar dan hanya menyasar sampah yang mudah didaur ulang. Ia mencontohkan, botol plastik dan tutup botol, yang memiliki jenis dan titik lebur berbeda, harus dipisahkan secara ketat untuk proses daur ulang yang optimal. Tutup botol berbahan HDPE, misalnya, harus dipilah dari botol PET dan disalurkan ke industri daur ulang spesialis HDPE.

Justin juga menyoroti regulasi yang tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah, yang seringkali menghambat pelaku industri daur ulang dalam mengurus perizinan dan pengelolaan limbah.

“Industri sudah berkembang jauh, tapi kebijakan dan regulasi kadang tidak mendukung," ujarnya.

Dalam praktiknya, pencampuran bahan seperti bungkus minyak goreng dengan kantong kresek, dapat menurunkan kualitas produk daur ulang. Ia menekankan bahwa persoalan ini lebih bersifat teknis daripada kebijakan.

Terlepas dari tantangan yang ada, Justin tetap optimistis. Ia meyakini potensi ekonomi dari pemilahan sampah dan penerapan EPR sangat besar, mampu mendorong keberlanjutan industri daur ulang plastik di Indonesia.

Sebelumnya, pada Mei lalu, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah mengumumkan rencana untuk mewajibkan produsen bertanggung jawab penuh atas sampah plastik dari produk mereka melalui skema EPR. Kebijakan ini akan mengubah skema yang semula bersifat sukarela menjadi kewajiban hukum.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengungkapkan bahwa Indonesia sebenarnya telah memiliki dasar hukum EPR melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, namun implementasinya belum optimal karena masih bersifat sukarela.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement