REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) memperkenalkan konsep baru program Adipura. Dalam skema ini, penilaian tidak lagi terbatas pada aspek estetika dan kebersihan, tetapi juga mencakup sistem kelembagaan, pemilahan sampah dari sumber, serta kepatuhan terhadap pelarangan tempat pembuangan akhir (TPA) secara terbuka.
Kota yang masih menggunakan sistem open dumping otomatis tidak memenuhi syarat Adipura. KLH menyebut revitalisasi Program Adipura sebagai bentuk transformasi dalam pengelolaan lingkungan perkotaan yang berbasis data. Program ini wajib diikuti oleh seluruh kabupaten dan kota, dengan pemantauan berbasis teknologi seperti citra satelit dan survei udara.
Adipura tidak lagi diposisikan sebagai simbol kota bersih, tetapi diarahkan menjadi alat kebijakan untuk mendorong pengelolaan sampah yang sistematis, integratif, dan sejalan dengan target nasional menuju kota rendah emisi. Penilaian juga mempertimbangkan partisipasi masyarakat, penguatan kelembagaan, dan alokasi anggaran daerah dalam APBD.
Tiga aspek utama penilaian mencakup sistem pengelolaan sampah dan kebersihan (50 persen), kebijakan dan anggaran daerah (20 persen), serta kesiapan sumber daya manusia dan infrastruktur (30 persen). Evaluasi mencakup operasional TPA, cakupan layanan pengangkutan, serta rasio pengelolaan sampah terhadap kapasitas wilayah.
Hasil penilaian diklasifikasikan menjadi empat predikat, yaitu Adipura Kencana untuk kinerja terbaik, Adipura untuk capaian tinggi, Sertifikat Adipura untuk pemenuhan kriteria dasar, dan Predikat Kota Kotor bagi daerah dengan kinerja terendah.
Konsep baru ini diumumkan dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengelolaan Sampah 2025 yang digelar di Jakarta International Convention Center. Rakornas juga memperkuat kemitraan dengan sektor industri melalui forum business matching, yang menghadirkan pelaku usaha dari industri semen (RDF), daur ulang plastik (ADUPI), kertas (APKI), hingga magot untuk limbah organik.