REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ilmuwan banyak meneliti bagaimana pemanasan global berdampak pada tubuh dan kesehatan manusia. Gelombang panas yang semakin sering dan intensif akibat perubahan iklim menelan korban ratusan jiwa setiap tahunnya.
Sudah banyak penelitian yang menunjukkan bagaimana cuaca ekstrem seperti panas menyengat, badai dan banjir mempengaruhi tubuh manusia. Tapi bagaimana dengan otak kita?
Sejumlah penelitian sudah mengkaji respons otak manusia pada panas. Tidak seperti bagian tubuh lainnya, otak manusia sangat sensitif. Tubuh dapat mengatur panas lewat kelenjar keringat.
Namun otak bergantung pada aliran darah yang membawa panas, sehingga lebih rentan terhadap cuaca panas. Dampak cuaca panas pada otak semakin paran bila dehidrasi, karena pembuluh darah akan mengangkut lebih sedikit darah.
Dikutip dari Varsity, Senin (18/8/2025) penelitian yang dipublikasikan di Journal of Neuroinflammation menggunakan tikus untuk mengetahui dampak panas pada perandangan otak dan degenerasi otak. Tikus itu dipaparkan panas dengan suhu 43 derajat Celsius.
Otak manusia memang dua kali lebih besar dan kompleks dibandingkan otak tikus. Namun tipe neuron dan koneksinya sama.

Peradangan otak terjadi ketika sel glial di sistem neuron kita menjadi "aktif" karena stress. Sel glial merupakan "pengawal" bagi neuron di pusat sistem saraf manusia, yang memberikan dukungan dan perlindungan.
Panas memberi tekanan pada tubuh manusia, sel glial ini melepaskan enzim inflamasi seperti iNOS (inducible nitric oxide synthase) dan cyclooxygenase-2, yang menghasilkan radikal bebas yang sangat reaktif dan senyawa seperti prostaglandin yang menyebabkan nyeri.
Ketika enzim ini terlalu banyak dilepaskan maka degenerasi otak dapat terjadi. Kemudian dapat menyebabkan kematian otak dan hilangnya protein sinaptik.
Molekul-molekul inflamasi ini juga dapat mengganggu produksi neuron baru di bagian hipokampus otak, yang mengakibatkan berkurangnya pembentukan memori dan pemrosesan otak yang lebih lambat.
Penelitian lain yang dipublikasikan di jurnal PLOS Medicine mengkonfirmasi temuan ini. Kali ini para ilmuwan menggunakan sampel 44 manusia selama gelombang panas.
Peserta yang berada di dalam bangunan tanpa pendingin udara menunjukkan mengalami penurunan kinerja kognitif sebanyak 10 persen.