REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perdagangan karbon akan menjadi salah satu topik paling banyak dibicarakan dalam Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) yang berlangsung pada 10–21 November 2025 di Kota Belém, Brasil. Paviliun Indonesia menjadikan isu pendanaan dan perdagangan karbon sebagai tema utama. Pemerintah Indonesia juga menyiapkan forum khusus untuk mempertemukan calon penjual dan calon pembeli kredit karbon.
Namun, dalam pernyataannya, kelompok masyarakat sipil Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) menilai perdagangan karbon tidak otomatis menurunkan emisi. ARUKI mencatat perdagangan karbon merupakan salah satu aksi mitigasi yang tercantum dalam Paris Agreement, perjanjian untuk menahan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius dibandingkan masa praindustri.
Jika batas kenaikan suhu itu terlewati, para ilmuwan memperingatkan akan terjadi kekacauan ekosistem global. Sekitar delapan persen spesies di bumi terancam punah, es di kutub mencair yang memicu kenaikan permukaan air laut, dan intensitas cuaca ekstrem seperti gelombang panas, kekeringan panjang, serta banjir bandang akan meningkat drastis.
“Narasi yang paling terang-benderang hari ini adalah jual karbon, selamatkan hutan, dan dapat uang. Padahal sektor energi, terutama PLTU batu bara masih menjadi penyumbang emisi terbesar,” ujar Koordinator Sekretariat ARUKI, Torry Kuswardono, dalam Diskusi Nexus Tiga Krisis Planet secara daring, Jumat (7/11/2025) lalu.
Menurut Torry, fokus kebijakan iklim Indonesia masih berat sebelah. Sektor energi yang menjadi sumber emisi utama justru belum tersentuh secara serius, sementara hutan dijadikan “komoditas” untuk menarik investasi dan pencitraan di forum global.
Pencapaian target iklim 1,5 derajat Celsius dapat dilakukan melalui kerja sama sukarela, baik melalui mekanisme pasar (salah satunya perdagangan karbon) maupun nonpasar. Salah satu mekanisme nonpasar adalah proyek Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di Kalimantan Timur.
“Jika berhasil menurunkan emisi sebesar 122 juta ton CO2, akan ada result-based payment dari Bank Dunia sebesar 110 juta dolar AS,” kata peneliti Research Center for Climate Change Universitas Indonesia, Riko Wahyudi.
Insentif ini diberikan karena Indonesia berhasil menurunkan emisi. Emisi yang ditekan dicatat sebagai pencapaian target iklim nasional. Namun, jika menggunakan mekanisme perdagangan karbon, emisi tersebut tidak dicatat sebagai pencapaian karena emisi yang dicegah “ditukar” dengan emisi yang dijual.
Dalam perdagangan karbon ada dua istilah yang sering tumpang tindih: offset dan perdagangan karbon berbasis ambang batas (cap and trade). Offset karbon adalah mekanisme kompensasi. Misalnya, sebuah perusahaan penerbangan tidak bisa menurunkan emisinya secara langsung, maka perusahaan itu membeli “kredit karbon” dari proyek yang menanam hutan atau melestarikan gambut. Kredit itu dihitung berdasarkan jumlah karbon yang dapat diserap proyek tersebut. Dengan membeli offset, perusahaan seolah “menebus” emisi yang dihasilkannya.
Sementara itu, perdagangan karbon berbasis ambang batas (cap and trade) bersifat wajib. Pemerintah menetapkan batas atas emisi (cap) untuk sektor tertentu—misalnya pembangkit listrik. Jika satu PLTU mampu menekan emisi di bawah batas itu, kelebihannya bisa dijual ke PLTU lain yang kelebihan emisi.
Dalam praktiknya, pasar karbon di Indonesia lebih banyak berbasis offset. Sektor hutan dan lahan menjadi ujung tombak karena mudah “dijual” sebagai penyerap karbon. Menurut Torry, hal ini ironis.
“Pemerintah bilang kita akan selamatkan 12 juta hektare hutan lewat pasar karbon. Tapi di sisi lain, kita masih kehilangan hutan karena deforestasi yang disengajakan lewat proyek-proyek raksasa seperti PSN,” ujar Torry yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Pikul.
Bagi Torry, ini menunjukkan inkonsistensi kebijakan. “Hutan dijadikan komoditas. Padahal IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) sudah mengatakan, hutan tidak bisa diandalkan sebagai reset emisi terus-menerus. Kalau terlalu kering, bisa terbakar. Kalau terlalu basah, karbonnya larut dan hilang. Jadi stok karbon itu bisa lenyap dalam satu musim kering ekstrem,” katanya.
IPCC merupakan lembaga PBB yang melakukan asesmen ilmiah terkait perubahan iklim. Torry menambahkan, proses penyerapan karbon tidak instan.
“Tidak bisa diasumsikan setiap ton karbon dioksida yang kita lepas hari ini langsung diserap hutan besok pagi. Ada delay time. Selama jeda itu, gas rumah kaca tetap menumpuk di atmosfer,” katanya.
Problem terbesar dari pasar karbon, kata Torry, terletak pada integritas datanya. Banyak proyek offset terbukti melebih-lebihkan dampak mereka.
“Studi internasional menunjukkan over-crediting bisa mencapai 30 hingga 100 persen. Artinya klaim penurunan emisi dua kali lipat dari yang sebenarnya terjadi,” jelasnya.