REPUBLIKA.CO.ID, BELEM -- Sekretaris Eksekutif Kantor PBB untuk Koordinasi Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) Simon Stiell menegaskan Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) menunjukkan kerja sama iklim global masih berjalan kuat meski menghadapi tantangan politik internasional. Menurutnya, keberhasilan tersebut menjadi bukti umat manusia masih terus berjuang menjaga masa depan planet yang layak huni.
“Meski satu negara mundur, 194 negara tetap teguh dalam solidaritas, mendukung penuh kerja sama iklim,” kata Stiell dalam konferensi pers penutupan COP30 dalam transkrip yang dibagikan PBB, Ahad (22/11/2025).
Stiell merujuk mundurnya Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris setelah Donald Trump dilantik sebagai presiden pada awal tahun ini. Ia menegaskan arah perjalanan global kini semakin jelas meskipun tanpa petunjuk teknis yang lengkap.
“Peralihan dari energi fosil menuju energi terbarukan dan ketahanan iklim tidak bisa dihentikan, dan kecepatannya terus meningkat,” tambahnya.
Stiell menegaskan agenda aksi merupakan bagian vital dari implementasi Persetujuan Paris, bukan pelengkap semata. Dari berbagai inisiatif tersebut, lanjutnya, tercatat komitmen pendanaan senilai satu triliun dolar AS untuk pengembangan jaringan energi bersih, perlindungan atau pemulihan ratusan juta hektare hutan, lahan, dan wilayah laut, serta peningkatan ketahanan lebih dari 400 juta orang.
Pada tingkat negosiasi, Stiell menekankan tiga poin utama yang menurutnya perlu dipahami publik. Pertama, COP30 berhasil mencapai konsensus dalam isu-isu penting seperti transisi berkeadilan, kesetaraan gender, dan pelipatan tiga kali lipat pendanaan adaptasi.
“Upaya ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup pekerja, perempuan dan anak perempuan, serta masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara berkembang yang rentan,” ujarnya.
Kedua, Keputusan Mutirão yang menjadi hasil kesepakatan COP30 mengirimkan sinyal politik kuat. Ia menyebut paragraf 11 sebagai salah satu poin penting karena menyatakan seluruh negara sepakat Persetujuan Paris berjalan efektif dan dunia harus bergerak lebih cepat.
Selain itu, 194 negara menegaskan kembali target pembatasan pemanasan global maksimal 1,5 derajat Celsius. Paragraf 10 juga menyatakan transisi menuju pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim sebagai proses yang tidak dapat dibalikkan serta menjadi tren masa depan.
Stiell mengatakan negara-negara meningkatkan aksi iklim karena hal itu mendorong pertumbuhan ekonomi dan selaras dengan kepentingan nasional mereka. Ketiga, ia menilai COP30 membawa kemajuan signifikan.
Keputusan Mutirão disebut mempertegas arah langkah ke depan dan percepatan respons terhadap krisis iklim. Paragraf 15 dalam dokumen itu mengingatkan kembali seluruh keputusan sebelumnya, termasuk kesepakatan transisi energi di Dubai dan komitmen pendanaan iklim yang disepakati di Baku.
Dalam paragraf 29, semua pihak juga diminta bekerja sama mempercepat dan meningkatkan aksi iklim global, sementara paragraf 33 menegaskan negara-negara kini harus memperbarui aksi iklim nasional mereka dengan tujuan menjalankan komitmen NDC secara penuh dan berupaya melangkah lebih jauh. Paragraf 52 menandai kesepakatan untuk mulai mewujudkan target pendanaan iklim yang menjadi faktor kunci percepatan aksi.
Stiell mengakui masih terdapat kekecewaan dari sejumlah negara yang menginginkan langkah lebih cepat, terutama terkait pengurangan bahan bakar fosil, peningkatan pendanaan iklim, dan penanganan bencana iklim yang semakin parah. Namun, ia menegaskan arah perjalanan tidak berubah.
“Peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan dan ketahanan iklim tidak bisa dihentikan. Setiap hari, setiap langkah, setiap COP, kita membangun dunia yang lebih baik bagi miliaran orang di seluruh penjuru dunia,” katanya.