Selasa 09 Dec 2025 14:09 WIB

Ekonom Prediksi Pertumbuhan Global 2026 Melambat, Indonesia Butuh Reindustrialisasi

Perlambatan AS, China, dan Eropa disebut berpotensi tekan ekonomi dunia.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Pertumbuhan ekonomi global diprediksi hanya mencapai 3,2 persen (year on year/yoy) pada 2025, melambat dibandingkan 2024 yang sebesar 3,3 persen. (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Andry Denisah
Pertumbuhan ekonomi global diprediksi hanya mencapai 3,2 persen (year on year/yoy) pada 2025, melambat dibandingkan 2024 yang sebesar 3,3 persen. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pertumbuhan ekonomi global diprediksi hanya mencapai 3,2 persen (year on year/yoy) pada 2025, melambat dibandingkan 2024 yang sebesar 3,3 persen. Tren perlambatan ini diperkirakan berlanjut pada tahun 2026.

“Pelambatan pertumbuhan global diperkirakan terus berlanjut hingga 2026, yaitu hanya tumbuh sekitar 3,1 persen. Hal ini sejalan dengan kecenderungan pertumbuhan ekonomi negara maju yang hanya 1,5 persen serta Emerging Market Economies (EMEs) 4 persen,” kata Pengamat Ekonomi Muhammad Syarkawi Rauf dalam keterangannya kepada Republika, dikutip Selasa (9/12/2025).

Baca Juga

Syarkawi menjelaskan perlambatan tersebut sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS), perekonomian terbesar dunia berdasarkan Gross Domestic Product (GDP) harga konstan, yang diprediksi melambat dari 2,8 persen pada 2024 menjadi 2 persen pada 2025.

“Pelambatan pertumbuhan AS diperkirakan akan terus berlanjut menjadi 1,7 persen pada 2026,” ujarnya.

Sementara itu, perekonomian China, ekonomi terbesar kedua dunia, menurut The Economist Intelligence Unit (EIU) diperkirakan tumbuh 4,8 persen pada 2026 dari 5 persen pada 2025. Konsultan global Morgan Stanley juga memproyeksikan perlambatan serupa, yakni pertumbuhan ekonomi China sekitar 4,8 persen pada 2026.

“Kecenderungan yang sama terjadi di zona Euro sebagai perekonomian terbesar ketiga dunia, yang diperkirakan hanya tumbuh 1,3 persen pada 2025 dan melambat menjadi 1,2 persen pada 2026,” terangnya.

Di tengah tren pelambatan global, Syarkawi menilai pengaruh China dalam perekonomian dunia justru semakin kuat. Dominasi perdagangan China meningkat tajam, dari 474 miliar dolar AS pada 2000 menjadi 6,2 triliun dolar AS pada 2024. Jika pada 2000 nilai perdagangan China masih empat kali lebih kecil dari AS (sekitar 2 triliun dolar AS), sejak 2012 nilai perdagangan China sudah lebih besar dibandingkan AS.

Ia mengatakan dominasi China dalam perdagangan global dan teknologi diperkirakan menguat pada 2026, termasuk pada kendaraan listrik (electric vehicles/EV), solar panels, dan teknologi artificial intelligence (AI). Kepemimpinan teknologi China juga makin terasa pada produk autonomous vehicle serta obat-obatan berteknologi tinggi.

Menurut Syarkawi, kemajuan tersebut didorong perencanaan ekonomi jangka panjang yang dikendalikan pemerintah China, termasuk penyediaan pembiayaan untuk memperkuat industri manufaktur. China membangun pusat-pusat aglomerasi ekonomi berbasis SDM terampil yang didorong untuk melakukan riset dan inovasi.

Ekosistem research and development (R&D) yang terintegrasi dengan sektor industri membuat China bertransformasi dari negara peniru teknologi menjadi pemimpin inovasi manufaktur global.

Indonesia dan Langkah Reindustrialisasi

Syarkawi menilai terdapat sejumlah pelajaran yang dapat diambil Indonesia dari pengalaman China. Pertama, diperlukan kepemimpinan pemerintah dalam mengarahkan inovasi teknologi bekerja sama dengan perguruan tinggi, BUMN, swasta nasional, swasta multinasional, dan masyarakat.


Kedua, pemerintah perlu menetapkan national champion di industri manufaktur untuk didorong melalui pembiayaan murah, R&D, serta tenaga kerja berkualitas. Ketiga, pemerintah perlu menyiapkan pembiayaan R&D bersama sektor swasta dan mendorong kerja sama riset perguruan tinggi dengan industri manufaktur global. Keempat, melindungi peneliti dan hasil riset melalui remunerasi tinggi serta penegakan hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

“Akhirnya, langkah-langkah tersebut akan mendorong reindustrialisasi akibat deindustrialisasi prematur, yaitu berkurangnya porsi manufaktur dalam perekonomian nasional terlalu dini,” ujarnya.

Syarkawi menyebut langkah-langkah tersebut penting agar Indonesia bisa “menjadi kaya sebelum menjadi tua”, yakni mencapai status negara maju sebelum populasi memasuki fase penuaan pada 2045 sehingga terhindar dari middle income trap.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement