Kamis 05 Oct 2023 23:36 WIB

Perdagangan Karbon Jadi Solusi Perubahan Iklim? Ini Kata Founder EcoNusa

Perdagangan karbon disebut menjadi cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Perdagangan karbon dinilai menjadi cara mengurangi emisi gas rumah kaca melalui tata laksana nilai ekonomi karbon.
Foto: Freepik
Perdagangan karbon dinilai menjadi cara mengurangi emisi gas rumah kaca melalui tata laksana nilai ekonomi karbon.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perdagangan karbon menjadi salah satu isu yang sedang hangat diperbincangkan belakangan ini. Upaya ini digadang-gadang bisa menjadi cara guna mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) melalui tata laksana nilai ekonomi karbon.

Namun demikian, menurut Founder dan CEO EcoNusa, Bustar Maitar, perdagangan karbon bukanlah solusi dari perubahan iklim. Pasalnya, perdagangan karbon itu hanyalah solusi sementara dan jangka pendek, bukan solusi permanen.

Baca Juga

“Yang harus dilakukan adalah memotong emisi gas rumah kaca secara signifikan, oleh siapa saja terutama negara-negara maju, sehingga kita bisa menahan laju kenaikan suhu kita tidak melewati 1,5 derajat. Komitmen ini yang belum ada, tidak terjadi,” kata Bustar saat diwawancarai Republika di kantor Eco Nusa, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (5/10/2023).

Bustar mengaku khawatir, perdagangan karbon hanya akan menjadi bisnis yang jauh dari tujuan perubahan iklim. Karena itu menurut dia, seharusnya komitmen terhadap perubahan iklim dijadikan pondasi utama dalam berbagai pembicaraan dan realisasi perdagangan karbon.

“Kalau perubahan iklim sudah jadi pondasi perdagangan karbon, orang tidak akan terlalu berpikir gimana caranya untuk mendapatkan duit dari situ,” tegas dia.

Ketika berbicara perdagangan karbon, ia juga menekankan pentingnya menempatkan masyarakat sebagai penerima manfaat dari karbon itu sendiri. Karbon jangan hanya dilihat sebagai komoditi biasa seperti kelapa sawit, karet, atau apapun. Karbon, dikatakan Bustar, adalah sesuatu yang harus benar-benar berkontribusi dan bahkan memberikan manfaat utama di masyarakat.

“Karena kalau misal begini, orang jualan karbon per ton 5 dolar, dari 5 dolar itu berapa yang diberikan ke masyarakat? Bisa jadi kurang dari 1 dolar, yang 4 dolarnya masuk ke perusahaan. Nah ini yang enggak bener. Kita harus memastikan bahwa masyarakat mendapatkan keuntungan utama dari itu,” kata Bustar.

Menurut Bustar, perdagangan karbon juga harus mengedepankan integritas hutan itu sendiri. Karena di hutan, bukan hanya urusan karbon, namun ada juga urusan keanekaragaman hayati, pembangunan sosial, pembangunan berkelanjutan dan lainnya.

“Jadi perlu dilihat secara holistic, jangan cuma melihat karbon,” tegas dia.

Selain integritas hutan, Indonesia sebagai negara juga harus memiliki integritas dalam perdagangan karbon. Maksudnya, perdagangan karbon itu harus bisa diklaim sebagai bagian dari upaya penurunan emisi Indonesia.

“Misalnya ada perusahaan dari Kanada, terus beli karbon di Indonesia, kemudian dia minta dicatatkan di Kanada, itu kan tidak bisa, sementara Kanada terus menghasilkan emisi,” tegas Bustar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement