Selasa 17 Oct 2023 14:34 WIB

Cuaca Indonesia Kian Panas, Pakar: Bahan Bakar Fosil Pemicu Utama

Penggunaan bahan bakar fosil yang terus dibiarkan menjadi penyebab pemanasan global.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Energi fosil mendominasi bauran energi nasional sebesar 87,7 persen.
Foto: www.pixabay.com
Energi fosil mendominasi bauran energi nasional sebesar 87,7 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan bahan bakar fosil yang masih tinggi menjadi salah satu pemicu utama cuaca panas dan terik di berbagai daerah Indonesia. Energi fosil mendominasi bauran energi nasional sebesar 87,7 persen, dan energi baru terbarukan (EBT) sebesar 12,30 persen, menurut data Kementerian ESDM.

Dekan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Selo, mengungkapkan bahwa hingga saat ini hampir seluruh sektor industri, transportasi, peternakan, hingga perumahan masih bergantung pada bahan bakar fosil, yang menyumbang emisi karbon dan mengakibatkan perubahan iklim serta pemanasan global.

Baca Juga

“Kita lihat sampai hari ini musim kemarau masih terjadi, dimana menurut kebiasaannya sudah masuk musim hujan. Di beberapa daerah, air juga sangat sulit didapat, bahkan terjadi kekeringan. Jadi, kalau penggunaan bahan bakar fosil dibiarkan meningkat, tentu berdampak pada pemanasan global,” kata Prof Selo saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (17/10/2023).

Ia menjelaskan, setidaknya ada tiga gas yang dilepaskan saat bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam, dibakar. Pembakaran bahan bakar fosil melepaskan karbon dioksida dan menjadikannya kontributor utama pemanasan global, lalu melepaskan gas metana yang juga berkontribusi kuat pada pemanasan global.

Selain itu, pembakaran bahan bakar fosil juga melepaskan gas dinitrogen oksida yang meski sedikit, namun dinitrogen oksida 300 kali lebih kuat menahan panas dibanding karbon dioksida. Pemanasan global ini memicu perubahan iklim yang ekstrim, yang berakibat pada, salah satunya, cuaca panas.

Ia juga menilai, pertumbuhan energi baru terbarukan (EBT) belum sesuai harapan. Faktor utamanya adalah tidak tumbuhnya sektor industri terutama pengguna/konsumen listrik. Bahkan ada yang menyebut Indonesia mengalami de-industrialisasi yang berakibat pada over supply produksi listrik dari PLN. 

"Faktor lainnya adalah kebijakan yang belum sepenuhnya mendukung pertumbuhan EBT. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah menyusun kebijakan yang mendorong tumbuhnya konsumen atau pengguna listrik, agar investor EBT menjadi tertarik untuk membangun pembangkit-pembangkit EBT,” kata Ketua Umum Forum Dekan Teknik Indonesia tersebut.

Batu bara sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar telah menjadi sumber energi utama yang digunakan Indonesia selama bertahun-tahun. Pertumbuhan batu bara sejak tahun 2000 meningkat dua kali lipat hingga 61 persen.

Kondisi ini, berbanding terbalik dengan pertumbuhan energi terbarukan yang cenderung stagnan. Ketergantungan Indonesia akan industri batu bara juga menjadi hambatan dalam mencapai transisi energi.

Guna mempercepat transisi EBT, pemerintah juga dinilai perlu mendorong perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk mengembangkan teknologi EBT. "Ini tidak kalah penting dilakukan, agar Indonesia bisa mandiri dan tidak hanya bergantung pada produk-produk EBT dari luar negeri,” tegas Prof Selo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement