Senin 06 Nov 2023 15:13 WIB

Metodologi RIL-C Diklaim Bisa Jembatani Kepentingan Pengusaha & Mitigasi Iklim

Praktik utama dari RIL-C adalah untuk mengurangi emisi karbon.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) telah membuat metodologi pembalakan rendah emisi atau Reduced Impact Logging for Climate Change Mitigation (RIL-C).
Foto: Freepik
Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) telah membuat metodologi pembalakan rendah emisi atau Reduced Impact Logging for Climate Change Mitigation (RIL-C).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produk hasil hutan masih banyak yang dihasilkan dari pengelolaan hutan yang tidak bertanggung jawab dan berkelanjutan. Perusahaan di balik produk tersebut biasanya melakukan pembalakan hutan dengan hanya mengedepankan profit, tanpa memikirkan dampak lingkungan, sosial, dan iklim.

Merespon problematika ini, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) telah membuat metodologi pembalakan rendah emisi atau Reduced Impact Logging for Climate Change Mitigation (RIL-C). Metode ini diklaim bisa memberikan jalan tengah bagi pengusaha untuk tetap bisa mengambil keuntungan dari pemanfaatan hutan. Namun, di sisi lain, berkontribusi mengurangi emisi karbon dioksida.

Baca Juga

“Metodologi ini sebetulnya win-win solution. Di satu sisi, pengusaha bisa menebang kayu atau mendapatkan keuntungan dari kayu. Tapi, di sisi lain, dengan praktik yang lebih baik mereka bisa menurunkan emisi. Bahkan membuka potensi bahwa emisi yang dikurangi itu, bisa dijual dalam rangka menambah profit perusahaan, yang di sisi lain bisa berkontribusi pada target pengurangan emisi NDC,” kata Direktur Program Terestrial YKAN Ruslandi saat diwawancarai seusai diskusi Thought Leadership Forum di Jakarta, belum lama ini.

Menurut Ruslandi, pendekatan ini berpotensi mengurangi emisi karbon dari kegiatan pembalakan kayu hingga 40-50 persen dari baseline (angka performa emisi dari kegiatan pembalakan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara pada 2016). Kunci utama dari praktik RIL-C adalah menghindari penebangan pohon berlubang, mengatur arah rebah pohon, mengurangi kerusakan pohon besar karena penyaradan, dan meminimalkan luasan jalan angkut untuk mengurangi kerusakan hutan, dan artinya mengurangi emisi karbon.

“Perusahaan yang menerapkan RIL-C dapat menghitung penurunan emisi karbon yang dihasilkan dari pelaksanaan praktik pembalakan yang lebih baik,” ujar Ruslandi.

Bekerja sama dengan Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Kalimantan Timur, implementasi RIL-C telah diintegrasikan ke dalam program kerja Dishut. Saat ini, YKAN bersama dengan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) juga tengah mendaftarkan metodologi RIL-C ke Sistem Registi Nasional (SRN).

“Kalau sudah terdaftar di SRN, metodologi itu bisa membuka peluang bagi pengusaha PBPH ketika nantinya bisa menjual karbon kredit dari usaha kehutanan,” kata Ruslandi.

PBPH sendiri merupakan perizinan berusaha yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan atau kegiatan pemanfaatan hutan.

YKAN juga memberi pendampingan teknis kepada 27 perusahaan kayu pemegang PBPH, mencakup areal kurang lebih 2,2 juta hektare, dalam mendapatkan sertifikat PHPL dan sertifikasi internasional Forest Stewardship Council (FSC). Sejak tahun ini, YKAN juga memberikan dukungan teknis kepada PT WBPU dalam mengelola 44.402 hektare wilayah konsesi PBPH-nya yang terletak di Kalimantan Timur.

“Sejak awal, komitmen untuk menerapkan pengelolaan hutan lestari telah dicanangkan. Kami pun menjalin kemitraan erat dengan masyarakat sekitar dengan mengawalinya mendapatkan persetujuan dari warga di lima kampung,” ujar General Manager PT WBPU Eka Kusdiandra Wardhana, dalam diskusi Thought Leadership Forum di Jakarta.

PT WBPU menerapkan RIL-C untuk mengurangi emisi yang signifikan dengan penggunaan teknologi terkini seperti Light Distance And Ranging (LIDAR) untuk inventarisasi kayu, serta akan menggunakan Long Winching System (LOGFISHER) untuk menarik kayu, menggantikan traktor guna meminimalkan dampak kerusakan.

Pada September lalu PT WBPU juga telah melakukan survei keanekaragaman hayati bersama mitra dan masyarakat yang hasil datanya akan dipakai dalam penyusunan program pengelolaan dan pemantauan. Dampak pelaksanaan komitmen ini dirasakan PT Gunung Gajah Abadi yang sudah memasuki daur produksi kedua dan menjaga keanekaragaman hayati di dalam areal perizinan. 

Ada kenaikan nilai kepadatan populasi orang utan dari hasil survei orangutan tahun ini dibandingkan empat tahun lalu di dua lokasi konsesi, yakni di wilayah PT Gunung Gajah Abadi sekitar 17 persen dan di anak perusahaannya, PT Karya Lestari, yang lebih padat lagi, dalam lanskap Bentang Alam Wehea Kelay, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

“Hasil survei ini memberi harapan bahwa praktik pengelolaan hutan lestari dalam bentang alam yang dijaga bersama-sama dapat menyelamatkan populasi orang utan,” kata Direktur Utama PT Gunung Gajah, Abadi Totok Suripto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement