Kamis 09 Nov 2023 10:50 WIB

Manufaktur Tenaga Surya di China Diprediksi akan Mendominasi Secara Global

China menginvestasikan lebih dari 130 miliar dolar AS untuk industri tenaga surya.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
China menginvestasikan lebih dari 130 miliar dolar AS ke dalam industri tenaga surya pada tahun 2023.
Foto: www.freepik.com
China menginvestasikan lebih dari 130 miliar dolar AS ke dalam industri tenaga surya pada tahun 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekspansi manufaktur tenaga surya China diprediksi akan mendominasi rantai pasokan tenaga surya global dan memperlebar kesenjangan teknologi serta biaya. Hal ini diungkap dalam sebuah laporan terbaru dari Wood Mackenzie bertajuk 'How will China’s expansion affect global solar module supply chains?'.

Menurut laporan tersebut, China menginvestasikan lebih dari 130 miliar dolar AS ke dalam industri tenaga surya pada 2023 ini. Sebagai hasilnya, negara ini akan menguasai lebih dari 80 persen kapasitas produksi polysilicon, wafer, cell, dan modul secara global dari tahun 2023 hingga 2026.

Baca Juga

China diproyeksi akan membawa lebih dari 1 terawatt (TW) kapasitas wafer, cell, dan modul secara online pada 2024. Ini berarti kapasitas negara ini cukup untuk memenuhi permintaan global tahunan hingga 2032, berdasarkan perkiraan pertumbuhan permintaan tahunan Wood Mackenzie.

Huaiyan Sun, konsultan senior di Wood Mackenzie sekaligus penulis laporan tersebut, mengatakan ekspansi manufaktur tenaga surya di China telah didorong oleh margin yang tinggi untuk polysilicon, peningkatan teknologi, dan dukungan kebijakan.

“Dan meskipun ada inisiatif pemerintah yang kuat untuk mengembangkan manufaktur lokal di pasar luar negeri, China masih akan mendominasi rantai pasokan tenaga surya global dan terus memperlebar kesenjangan teknologi dan biaya dengan para pesaing,” kata Sun seperti dilansir Electrek, Kamis  (9/11/2023).

Amerika Serikat, Eropa, dan pasar-pasar lain telah meluncurkan dorongan manufaktur tenaga surya. Gabungan AS dan India telah mengumumkan lebih dari 200 gigawatt (GW) kapasitas modul yang direncanakan sejak 2022. Inflation Reduction Act (IRA) mendorong lonjakan di AS, dan Production Linked Incentive (PLI) meningkatkan kapasitas modul surya di India.

Namun, Wood Mackenzie mengatakan mereka masih belum kompetitif dari segi biaya dibandingkan pasokan dari China. Menurut laporan tersebut, modul yang dibuat di China 50 persen lebih murah dibandingkan yang diproduksi di Eropa dan 65 persen lebih murah dibandingkan yang diproduksi di Amerika Serikat.

“Meskipun ada rencana ekspansi modul yang cukup besar, pasar luar negeri masih belum dapat menghilangkan ketergantungan mereka pada China untuk wafer dan sel dalam tiga tahun ke depan,” kata Sun.

Dalam hal inovasi teknologi, China juga diprediksi akan terus memimpin. Negara ini mengumumkan akan membangun lebih dari 1.000 GW kapasitas sel tipe-N, teknologi generasi berikutnya setelah tipe-P. Sel tipe-N memiliki masa pakai yang lebih lama dan efisiensi yang lebih tinggi. Itu berarti 17 kali lebih banyak kapasitas sel tipe-N daripada negara lain di dunia.

Akan tetapi, tidak semuanya berjalan mulus. Sun mengatakan ke depannya akan terdapat persaingan ketat dan kelebihan pasokan di pasar Tiongkok, yang diperkirakan tidak akan berubah dalam waktu dekat. Akibatnya, beberapa rencana ekspansi dibatalkan.

Lini produksi lama yang memproduksi produk dengan efisiensi lebih rendah, seperti sel tipe P dan M6 adalah tempat terjadinya masalah kelebihan pasokan. Permintaan untuk sel tipe P mulai menurun tahun ini, dan analis Wood Mackenzie memperkirakan permintaannya hanya 17 persen dari pasokan pada tahun 2026.

“Lebih dari 70 GW kapasitas di China telah dihentikan atau ditangguhkan dalam tiga bulan terakhir. Akibatnya, industri manufaktur tenaga surya China akan mengalami masa-masa sulit. Produsen modul akan dipaksa untuk menerima pesanan dengan kerugian, mengurangi kapasitas, atau bahkan tutup sama sekali,” jelas Sun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement