REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) skala besar di Indonesia masih jauh dari target. Hingga 2023, realisasi baru mencapai 33 persen dari rencana yang ditetapkan.
Analis Energi Terbarukan Institute for Essential Services Reform (IESR), Alvin Putra, menyebut target PLTS nasional tahun lalu seharusnya lebih dari 750 megawatt (MW), namun realisasi hanya sekitar 250 MW. Ia menilai keterlambatan dipicu penjadwalan tender proyek skala besar yang tidak teratur dan tidak sesuai dengan Rencana Penyediaan Tenaga Listrik (RPTL) PLN.
“Ini menjadi sinyal yang cukup mengkhawatirkan bagi pelaku swasta, terutama pihak-pihak yang ingin berinvestasi di Indonesia untuk energi surya,” kata Alvin dalam media briefing Indonesia Solar Summit 2025, Selasa (2/9/2025).
Berbeda dengan PLTS skala besar, sektor PLTS atap menunjukkan pertumbuhan positif dalam beberapa tahun terakhir. Lonjakan ini ditopang meningkatnya adopsi standar hijau oleh industri dan kawasan industri yang menuntut pasokan energi terbarukan.
Menurut Alvin, kapasitas terbesar PLTS atap berasal dari sektor industri. Meskipun regulasi berubah melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2024 yang menghapus net metering dan menggantinya dengan sistem kuota, tren penambahan kapasitas tetap berlanjut. “Ini menunjukkan keinginan konsumen untuk mendapatkan energi bersih terus meningkat,” ujarnya.
Adopsi tertinggi terjadi di Pulau Jawa dan Bali, sementara daerah seperti Yogyakarta, Sumatra, dan Sumatra Utara masih menyimpan potensi besar yang belum tergarap.
Untuk sektor off-grid, energi surya dinilai fleksibel karena bisa ditempatkan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Potensi ini bisa dimanfaatkan untuk program elektrifikasi daerah yang belum tersambung ke jaringan PLN, seperti listrik desa, Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE), hingga Stasiun Pengisian Energi Listrik (SPEL). Namun Alvin menegaskan program tersebut perlu ditopang sumber listrik yang lebih andal seperti mini grid atau listrik desa skala besar.