Selasa 05 Dec 2023 01:46 WIB

Pakar: El Nino Berdampak Pada Produksi Padi di Indonesia

Fenomena El Nino kerap membuat produksi padi di dalam negeri menurun.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Ilustrasi para petani memanen padi secara tradisional di sawah.
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Ilustrasi para petani memanen padi secara tradisional di sawah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB, Dwi Andreas Santosa, mengatakan bahwa El Nino merupakan fenomena iklim yang paling berdampak pada produksi pangan terutama padi di Indonesia. Menurut dia, fenomena El Nino kerap membuat produksi padi di dalam negeri mengalami penurunan.

“Tapi dari pengamatan saya, dampak El Nino belum sampai menyebabkan krisis pangan. El Nino membuat produksi padi menjadi sulit, tapi penurunan produksi sampai saat ini masih dalam tahap aman,” kata Dwi saat dihubungi Republika.co.id, Senin (4/12/2023).

Baca Juga

Di tengah ancaman perubahan iklim, Dwi menilai pemerintah harus melakukan strategi yang tepat dan tidak gegabah. Salah satu strategi yang efektif menurut dia adalah dengan menerapkan kebijakan harga yang berpihak pada petani, sehingga mereka tetap semangat dalam memproduksi pangan atau menanam.

“Selama ini pemerintah selalu berpihak pada konsumen dan memikirkan bagaimana harga pangan murah, sehingga pemerintah malah impor beras. Sementara di kondisi sulit seperti saat ini, pemerintah seharusnya menjaga semangat petani untuk menanam, dengan cara ya menerapkan kebijakan harga yang berpihak,” jelas Dwi.

Dia juga meminta pemerintah agar mempertimbangkan ulang rencana impor sebanyak 2 juta ton beras untuk tahun 2024. Menurut dia, keputusan impor beras tersebut tidak terlalu mendesak. Terlebih menurut perhitungan Dwi, peningkatan produksi beras di tahun depan akan mencapai 1,5 juta ton. Itu lantaran harga gabah yang tinggi menjadi salah satu faktor pendorong peningkatan produksi di tahun depan.

“Jadi saya pikir, kalau memang harganya bagus, menguntungkan petani, maka mereka juga akan menanam terus. Bersemangat untuk menanam, bahkan lahan kosong pun bisa mereka garap, walaupun di situasi seperti sekarang yang menantang. Tapi kalau harganya tidak berpihak, bagaimana petani mau menanam,” kata Dwi.

Sementara itu, Dwi menilai bahwa prediksi krisis pangan yang dirilis lembaga-lembaga internasional juga rentan kepentingan politis. Karena itu, menurut Dwi, pemerintah harus bisa lebih bijak dalam menanggapi analisa tersebut.

“Seperti sebelumnya, ramai soal krisis pangan akan terjadi pada 2020, terus direspon oleh pemerintah dengan membuat food estate. Tapi pada kenyataannya kan krisis pangan itu tidak terjadi. Jadi kita harus hati-hati menyiasati isu krisis pangan, jangan ditelan mentah-mentah,” kata Dwi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement