REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Generasi muda yang tergabung dalam koalisi Power Up menggelar aksi dan upaya audiensi di rumah pemenangan para calon presiden dan wakil presiden 2024. Aksi generasi muda ini untuk menyampaikan keresahan dan aspirasi yang tertulis dalam rekomendasi kebijakan yang terkait isu krisis iklim dan transisi energi.
Sampai saat ini generasi muda belum mendapatkan political will yang kuat dari para calon presiden dan wakil presiden untuk menyelamatkan iklim dengan transisi energi bersih yang sesuai dengan rekomendasi sains.
Kepada masing-masing capres dan cawapres, koalisi Power Up menyerahkan dokumen surat rekomendasi dan rekomendasi kebijakan yang berisi tuntutan serta hasil analisis kesenjangan kebijakan antara visi misi dan gagasan para calon dengan rekomendasi sains dan kebutuhan Indonesia.
Mengatasi krisis iklim dan menjalankan transisi energi yang bersih dan adil adalah keutamaan dalam pembangunan Indonesia yang akan dipimpin oleh presiden terpilih nanti. Dampak krisis iklim sudah dirasakan masyarakat bahkan para calon presiden dan wakil presiden. Peneliti iklim Copernicus Climate Change Service (C3S), mencatat tahun 2023 menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah.
Hal itu juga sesuai temuan BMKG yang mencatat suhu udara rata-rata Indonesia tahun 2023 meningkat 0,5 derajat Celcius lebih panas dibandingkan suhu udara rata-rata periode 1991-2020. Dampak kemarau panjang, kekeringan, krisis air dan gagal panen sehingga krisis pangan mulai terjadi.
Cuaca ekstrem dan bencana alam adalah ancaman global terbesar manusia yang akan sering dirasakan. Efek domino dari cuaca ekstrem adalah perlambatan ekonomi. Kebijakan nasional dan daerah yang tepat akan mengurangi parahnya krisis iklim.
“Kami generasi muda sudah melakukan bagian kami dalam upaya-upaya yang bisa dilakukan di kehidupan sehari-hari dengan kegiatan rendah emisi seperti menggunakan transportasi publik, menanam pohon dan memilah sampah. Tapi kenyataannya di sekitar kami ada hal-hal di luar jangkauan yang hanya bisa diubah melalui kebijakan masif dari pemimpin pemerintahan,” kata Feby Nur Evitasari dari KMPLHK Ranita UIN Jakarta, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Ahad (21/1/2024).
Ia menilai kebijakan pemerintah pada iklim seharusnya memenuhi kriteria kebijakan yang inklusif, sesuai rekomendasi sains, mempertimbangkan masyarakat terdampak, dan sesuai kebutuhan masyarakatnya.
“Hingga saat ini kami tidak mendapatkannya dari para paslon yang memenuhi kriteria tersebut. Bahkan, menurut kami tidak ada satupun calon yang benar-benar kuat berkomitmen untuk menghentikan pembangunan PLTU batu bara baru dan melakukan pensiun dini batu bara,” kata Feby.
Upaya-upaya generasi muda untuk mendorong isu krisis iklim menjadi prioritas tidak terlepas dari kepedulian dan kekhawatiran yang tinggi terhadap isu krisis iklim dan lingkungan. Survei CELIOS (2023) menunjukan bahwa 81 persen masyarakat Indonesia setuju bahwa pemerintah perlu mendeklarasikan kondisi darurat iklim.
Kenyataanya, pada riset rekam jejak para paslon untuk isu transisi energi dan krisis iklim dari Cerah dan Markdata (2023) menemukan bahwa narasi tentang iklim dan energi para capres bersifat umum dan belum menjadi prioritas utama.
“Sumber daya alam yang berlimpah harus dilindungi dan dijaga untuk generasi yang akan datang dapat menikmatinya. Kebijakan hari ini berdampak pada puluhan bahkan ratusan tahun mendatang. Para pemimpin seharusnya mewariskan hal baik untuk bumi yang sehat kepada kami bukan warisan rangkaian bencana akibat kerakusan mereka mengeruk sumber-sumber energi fosil. Apakah para pemimpin kita menunggu batubara habis baru tobat? Yah keburu terlambat” tegas Prisalo Luis, Kepala Departemen Aksi dan Propaganda BEM UI 2023.
Data sensus penduduk 2020 dari 270,2 juta penduduk Indonesia sebanyak 70,72 persen di antaranya usia produktif yaitu berusia 15 tahun sampai 65 tahun. Di mana sangat membutuhkan kualitas hidup dan pekerjaan yang baik untuk dapat memajukan ekonomi. Tetapi kebijakan nyata saat ini tidak mendukung hal tersebut.
Hasil analisis dari Climate Action Tracker menilai bahwa kebijakan dan aksi iklim Indonesia saat ini sangat tidak mencukupi dengan kebijakan-kebijakan yang tidak konsisten pada ambang batas aman bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.
“Kami sadar masing-masing paslon punya dosa terkait isu lingkungan. Kami sadar polusi Jakarta yang kerap kembali dan bertambah buruk, peningkatan deforestasi besar-besaran untuk proyek ketahanan pangan yang berujung mangkrak, serta tambang di Wadas dan Rembang merupakan puncak gunung es,” kata Ginanjar, Koordinator Climate Rangers Jakarta
“Kami punya hak menuntut untuk memperoleh kebijakan iklim dan energi yang berpihak dan melindungi kami dari fenomena yang akan dan sudah terjadi. Kami tidak mau menderita lebih parah lagi akibat ulah mereka yang sewenang-wenang merusak lingkungan demi kepentingan segelintir,” tambah dia.