Rabu 14 Feb 2024 20:42 WIB

Australia Alami Krisis Kepunahan Parah

Sebanyak 100 spesies tanaman dan hewan asli Australia resmi dinyatakan punah.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Australia berada dalam cengkeraman krisis kepunahan yang semakin parah.
Foto: EPA
Australia berada dalam cengkeraman krisis kepunahan yang semakin parah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Australia berada dalam cengkeraman krisis kepunahan yang semakin parah. Sejak penjajahan, 100 spesies tanaman dan hewan asli telah terdaftar secara resmi sebagai spesies yang telah punah karena aktivitas manusia. Jumlah sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi.

Survei menunjukkan bahwa warga Australia ingin mencegah kepunahan, terlepas dari biaya yang harus dikeluarkan. Namun, ketika sampai pada kondisi genting, seberapa besar kepedulian kita?

Baca Juga

Dalam situasi darurat, ada konvensi yang sudah lama dipegang bahwa petugas tanggap darurat seperti petugas pemadam kebakaran pertama-tama berusaha menyelamatkan nyawa manusia, kemudian properti dan infrastruktur, lalu aset alam.

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh para peneliti dari Charles Darwin University menyelidiki apakah konvensi ini mencerminkan nilai-nilai masyarakat. Mereka menemukan bahwa masyarakat yang disurvei lebih menghargai satu nyawa manusia dibandingkan dengan kepunahan seluruh spesies non-manusia, sebuah hasil yang menarik sekaligus meresahkan.

Peneliti sekaligus profesor biologi konservasi di Charles Darwin University, John Woinarski, menjelaskan bahwa peristiwa bencana kerap memaksa manusia untuk membuat pilihan sulit tentang apa yang harus diselamatkan dan apa yang harus ditinggalkan. Dalam keadaan darurat, pilihan itu menunjukkan dengan jelas nilai-nilai yang dianggap penting bagi berbagai jenis aset, termasuk spesies tanaman dan hewan.

“Prioritas kita akan menjadi semakin penting di bawah perubahan iklim, yang membawa kebakaran hutan yang lebih buruk dan bencana lingkungan lainnya. Jika alam selalu menjadi yang terakhir diselamatkan, kita dapat melihat hilangnya keanekaragaman hayati secara berulang, termasuk kepunahan,” kata Woinarski seperti dilansir Phys, Rabu (14/2/2024).

Hilangnya keanekaragaman hayati yang belum pernah terjadi sebelumnya pada kebakaran Black Summer merupakan gambaran dari apa yang akan terjadi. Kebakaran tersebut menghanguskan seluruh wilayah yang diketahui memiliki lebih dari 500 spesies tanaman dan hewan, dan setidaknya setengah dari lebih dari 100 spesies yang terancam punah. Bencana ini menyebabkan setidaknya satu spesies kutu putih di Australia Barat punah.

“Kerugian tersebut mendorong kita untuk merefleksikan prioritas kita. Laporan akhir dari penyelidikan parlemen New South Wales mengenai kebakaran hutan, misalnya, mempertanyakan apakah hierarki perlindungan ini harus selalu berlaku,” jelas dia.

Survei ini melibatkan 2.139 warga Australia. Responden memberi peringkat aset yang akan mereka selamatkan dalam kebakaran hutan. Responden survei memberikan peringkat tertinggi pada dua pilihan yang melibatkan penyelamatan nyawa manusia - bahkan jika orang tersebut telah berulang kali diperintahkan untuk mengungsi dan bahkan jika, sebagai konsekuensinya, spesies siput atau semak menjadi punah.

Menyelamatkan seseorang yang tidak menerima peringatan evakuasi mendapat nilai tertinggi, lebih tinggi daripada menyelamatkan seseorang yang mengabaikan saran evakuasi. Menyelamatkan populasi koala menjadi pilihan berikutnya, diikuti dengan menyelamatkan populasi walabi.

Pilihan yang tersisa memiliki nilai negatif, yang berarti bahwa responden lebih cenderung memilih pilihan yang paling tidak penting daripada yang paling penting.

Di antara aset keanekaragaman hayati, keputusan yang didasarkan pada konsekuensi konservasi berarti prioritas utama adalah mencegah kepunahan populasi siput dan semak belukar. Urutan berikutnya adalah populasi walabi, kemudian kehilangan koala yang relatif tidak terlalu berdampak.

Namun, hasilnya justru sebaliknya: orang-orang memprioritaskan koala di atas walabi, dengan sedikit kepedulian terhadap semak dan siput. Peringkat yang lebih rendah lagi adalah benda-benda yang memiliki nilai budaya Pribumi. Menyelamatkan rumah dan gudang memiliki peringkat terendah.

Para peneliti kemudian mengambil beberapa pesan kunci dari hasil survey. Pertama, hirarki perlindungan konvensional selama kebakaran - memprioritaskan kehidupan manusia, kemudian infrastruktur, lalu keanekaragaman hayati - tidak selalu mencerminkan nilai-nilai masyarakat. Terkadang, melindungi aset alam lebih penting daripada melindungi infrastruktur.

Pada kebakaran Black Summer, upaya untuk menyelamatkan populasi penting Pinus Wollemi yang terancam punah menunjukkan bahwa perlindungan aset keanekaragaman hayati adalah hal yang mungkin dilakukan. Kedua, masyarakat kita lebih menghargai satu nyawa manusia daripada jutaan tahun evolusi yang dapat dikalahkan dengan sekejap oleh kepunahan spesies lain.

Ketiga, sikap manusia terhadap alam masih jauh dari egaliter. Dalam hal ini, preferensi untuk menyelamatkan koala konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa manusia jauh lebih peduli pada mamalia lucu yang ikonik daripada spesies lain.

“Dan akhirnya, hasil penelitian kami mengkhawatirkan konservasi spesies yang kurang dikenal, yang kepunahannya meningkat di seluruh dunia. Kehilangan ini sebagian besar diabaikan atau tidak disadari oleh masyarakat,” kata Woinarski.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement