REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar dari IPB University menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi kerugian Rp 110 triliun akibat perubahan iklim, apabila abai melakukan pengelolaan pesisir laut dan pulau-pulau kecil berbasis risiko. Hal tersebut disampaikan oleh Pakar IPB University bidang Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Prof Yonvitner.
Prof Yonvitner mengatakan, 25 persen anggaran negara bisa habis untuk urusan bencana apabila pembangunan pengelolaan sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil tidak mempertimbangkan risiko.
Lebih lanjut ia mengurai potensi dampak risiko pesisir dan lautan karena perubahan iklim. Risiko tersebut misalnya kerusakan terumbu karang yang mencapai 40-80 persen, meningkatnya jumlah kepunahan spesies, kerusakan ekosistem mangrove sekitar 27 persen, meningkatnya muka air laut, penurunan persediaan air, perubahan biodiversitas ikan dan sebagainya.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University ini menjelaskan, implementasi kebijakan dalam pembangunan berisiko belum dilakukan secara komprehensif. Padahal terdapat enam Undang Undang (UU) dan 11 Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur kebijakan dalam pembangunan berisiko.
“Saat ini kebijakan dalam pembangunan berisiko baru fokus pada risiko dari aktivitas industri. Namun risiko terhadap ekosistem dan lingkungan yang berbasis ruang (spasial) belum dapat perhatian yang cukup karena masih adanya sampai plastik, kerusakan karang akibat iklim, banjir rob di kawasan pantai serta subsidence,” kata Prof Yonvitner seperti dikutip dalam keterangan tertulis, Senin (12/2/2024).
Prof Yonvitner menekankan agar calon presiden (capres) terpilih ke depan bisa memiliki komitmen kuat dan dapat merancang desain pembangunan baik pesisir, laut, pulau-pulau kecil dan perikanan dengan mempertimbangkan risiko mainstream-nya. Seharusnya, tegas dia, ketiga capres bisa juga menyentuh jiwa ekosistem yang rusak, illegal fishing maupun kerusakan pulau kecil akibat investasi tambang.
“Saya menawarkan empat sistem kendali yang meliputi kebijakan, ruang, teknologi dan manajemen. Sistem kendali penting sebagai instrumen kita bahwa risiko tidak liar, tidak menambah kerugian. Risiko selama ini hanya dianggap masalah, padahal risiko menjadi sebuah sistem dan transdisiplin ilmu. Untuk itu keberadaannya membutuhkan sebuah pengakuan dari semua komponen untuk berintegrasi dalam ranah pembangunan,” kata dia.