REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG — Tingginya frekuensi banjir yang terus berulang di berbagai daerah, bahkan tanpa dipicu hujan ekstrem, mendorong pemerintah menekankan pentingnya percepatan perencanaan perlindungan lingkungan hidup. Wakil Menteri LH/Wakil Kepala BPLH, Diaz Hendropriyono menegaskan, penguatan tata lingkungan tidak lagi bisa ditunda, terutama setelah tren banjir menunjukkan pola yang semakin sering dan meluas.
“Banjir masih terjadi ketika curah hujan lumayan tinggi. Di Jabodetabek saja sejak 2020 sudah terjadi setidaknya 374 kejadian, dan kita masih belum berhasil menangani semuanya,” kata Diaz di penutupan Rapat Koordinasi (Rakor) Tata Lingkungan, Rabu (26/11/2025).
Diaz menilai akar masalahnya tidak hanya pada cuaca, tetapi pelemahan daya dukung alam akibat berkurangnya tutupan vegetasi hulu dan masifnya alih fungsi lahan. Kondisi ini diprediksi memburuk dalam lima tahun ke depan, sehingga percepatan penyusunan dokumen perencanaan berbasis ekologis menjadi kunci pencegahan bencana. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) ditegaskan sebagai dokumen induk melalui Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2025.
Saat ini baru 17 provinsi yang memiliki Peraturan Daerah tentang RPPLH, sementara 19 provinsi lainnya masih berproses. Diaz mendesak percepatan penyusunan RPPLH hingga proses persetujuan lingkungan melalui sistem digital AMDALnet agar penanganan risiko ekologis dapat dilakukan lebih terukur dan terintegrasi.
Ia mengakui selama ini penyusunan dokumen tata lingkungan di daerah berlangsung tidak seragam, karena regulasi teknis baru benar-benar lengkap tahun ini. Momentum tersebut, ujarnya, harus dimanfaatkan untuk membangun fondasi pencegahan bencana yang lebih kuat.
“Sudah 16 tahun sejak UU 32/2009, tapi pengaturan teknisnya baru lengkap pada 2025. Sekarang PP sudah terbit, Permen tata cara sudah keluar. Inilah saatnya kita perbaiki dan pastikan RPPLH menjadi acuan utama pembangunan daerah maupun nasional,” ujar Diaz.
Musibah banjir melanda sejumlah daerah belakangan ini, antara lain, di Provinsi Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh. Musibah banjir tersebut tak hanya menimbulkan kerugian material, tapi juga menimbulkan korban jiwa.