REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada musim panas 2022, panas terik menewaskan sekitar 61.672 orang di seluruh Eropa. Sebagian besar dari mereka yang meninggal sudah memiliki masalah kesehatan seperti penyakit jantung dan paru-paru. Namun, kematian mereka tidak dapat dihindarkan: napas mereka terhenti dan jantung tidak mampu memompa darah dalam suhu panas yang 160 kali lebih mungkin terjadi akibat perubahan iklim.
Meskipun telah ada ilmu Atribusi Iklim, memperkirakan jumlah kematian kumulatif akibat perubahan iklim jauh lebih sulit. Akan tetapi, seorang ahli telah menghitung bahwa jumlah kematian akibat perubahan iklim akan melampaui 4 juta orang di tahun 2024 sejak tahun 2000.
"Hanya sedikit dari kematian ini yang akan diakui oleh keluarga korban, atau diakui oleh pemerintah nasional, sebagai konsekuensi dari perubahan iklim," kata ahli epidemiologi iklim dari Amerika Serikat, Colin Carlson, seperti dilansir Euro News, Jumat (2/2/2024).
"Lebih dari separuh dari kematian tersebut disebabkan oleh malaria di sub-Sahara Afrika, atau malnutrisi dan penyakit diare di Asia Selatan. Dan oleh karena itu, sebagian besar korban meninggal diperkirakan adalah anak-anak,” tambah dia.
Carlson, ahli biologi perubahan global dan asisten profesor di Georgetown University, menyerukan perubahan besar-besaran dalam cara kita berpikir dan merespons keadaan darurat iklim. Terlebih, menurut dia, telah banyak bukti nyata bahwa perubahan iklim telah menyebabkan kematian massal dalam skala seperti pandemi.
Lantas bagaimana kematian akibat iklim dihitung? Prakiraan pertama dan mungkin satu-satunya adalah menggunakan sebuah metode yang dibuat ahli epidemiologi asal Australia, Anthony McMichael. Ia mengembangkan metode untuk memperkirakan angka kematian akibat faktor-faktor tersebut.
Faktor tersebut termasuk banjir, malnutrisi, diare, malaria, dan penyakit kardiovaskular, dan jumlah total kematian yang disebabkan oleh perubahan iklim mencapai 166 ribu per tahun. Dengan menggunakan metode tersebut, Carlson mengatakan bahwa krisis iklim setiap tahunnya membunuh hampir sama banyaknya dengan jumlah penduduk Jenewa.
Angka 4 juta kematian pada tahun 2024 adalah angka yang cukup konservatif, karena metode McMichael tidak memasukkan sejumlah ancaman terkait iklim lainnya yang telah dipahami oleh para ahli dalam beberapa tahun terakhir. Pemanasan global juga telah menyebabkan angka kematian ekstrem melalui kelaparan, konflik, bunuh diri, kebakaran hutan, penyakit kronis dan menular seperti demam berdarah.
Menurut Carlson, dunia harus merespon perubahan iklim sebagai keadaan darurat kesehatan masyarakat. Hal ini dinilai efektif dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat dan pembuat kebijakan.
Hal ini juga diamini oleh Dr Kyele Merrit, dokter pertama yang mencantumkan perubahan iklim pada sertifikat kematian seorang wanita setelah gelombang panas ekstrem di Kanada pada 2021. "Jika kita tidak melihat penyebab utamanya, dan kita hanya mengobati gejalanya, kita akan terus tertinggal semakin jauh," kata Merritt.
Carlson juga tak melihat keseriusan pemerintah global dalam mengatasi perubahan iklim. Ketidakseriusan itu terlihat di mana pemerintah global hanya menganggarkan 143 juta dolar AS untuk dana adaptasi iklim, berbeda jauh dari 9 triliun dolar AS untuk memerangi Covid-19.
Tidak hanya itu, menurut Carlson, mengurangi gas rumah kaca saja tidak cukup. Pemerintah nasional dinilai perlu memenuhi tantangan iklim dan kesehatan dengan komitmen substantif; akses terhadap obat-obatan esensial; akses terhadap perawatan berkualitas tinggi; hingga akses terhadap makanan dan air bersih.
“Krisis iklim global yang kronis menuntut pendekatan jangka panjang yang berkelanjutan. Kita perlu mempersiapkan sistem kesehatan di seluruh dunia untuk beradaptasi dan lebih tahan terhadap iklim dan kita perlu mengurangi emisi secara dramatis, sekarang juga,” tegas Carlson.