Selasa 18 Nov 2025 13:30 WIB

Korsel Siap Pensiunkan PLTU, Ini Dampaknya bagi Industri Batu Bara RI

Keputusan Korsel akan mengubah arah bisnis energi regional.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Pengunjung melihat contoh hasil tambang pada ajang Mineral dan Batu bara Convention Expo (Minerba Convex) 2025 di Jakarta International Convention Center (JICC), Jakarta, Rabu (15/10/2025).
Foto: Republika/Prayogi
Pengunjung melihat contoh hasil tambang pada ajang Mineral dan Batu bara Convention Expo (Minerba Convex) 2025 di Jakarta International Convention Center (JICC), Jakarta, Rabu (15/10/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Korea Selatan resmi bergabung dengan Powering Past Coal Alliance (PPCA) di sela COP30 di Belem, Brasil. Langkah ini menjadi sinyal kuat penurunan permintaan batu bara Asia dan ancaman langsung bagi eksportir terbesar seperti Indonesia.

Korsel berkomitmen menghentikan operasional 41,2 gigawatt PLTU batu bara yang menyumbang 60 persen emisi sektor ketenagalistrikannya. Negara tersebut menargetkan kenaikan porsi energi surya dan angin hingga 21,6 persen pada 2030 sekaligus menutup 40 dari 62 unit PLTU paling lambat pada 2040, sementara rencana 22 unit lainnya dibahas kembali pada 2026.

Baca Juga

Direktur Pelaksana Energy Shift Institute (ESI) Putra Adhiguna menilai keputusan Negeri Ginseng akan mengubah arah bisnis energi regional. “Dengan peningkatan pembangkitan energi bersih sebesar 8 persen dan penurunan output listrik batu bara, pemasok batu bara seperti Indonesia dan Australia yang sudah menghadapi impor batu bara Cina yang menurun harus mempertimbangkan dengan matang ketergantungan mereka pada komoditas tersebut seiring dengan percepatan transisi energi,” kata Putra, Selasa (18/11/2025).

Korsel merupakan konsumen batu bara terbesar ke-7 dunia dan lima besar tujuan ekspor Indonesia, sehingga perubahan arah energi negara itu langsung memukul pendapatan eksportir dan daerah penghasil. Proyeksi Kpler menunjukkan keanggotaan Korsel di PPCA dapat menurunkan permintaan batu bara thermal hingga 25 juta ton, dengan impor batu bara yang sebelumnya mencapai lebih dari 22 juta ton senilai 1,7 miliar dolar AS per tahun.

Policy Strategist Coordinator CERAH Dwi Wulan Ramadani menegaskan bergabungnya Korsel menandai titik balik bisnis batu bara global. “Korea yang merupakan konsumen batu bara terbesar ketujuh dunia sekaligus pasar ekspor utama Indonesia selain Cina dan India. Ketika negara seperti Korea Selatan mulai menargetkan penghentian PLTU batu bara, perusahaan batu bara nasional harus bersiap menghadapi penurunan permintaan struktural dari pasar internasional,” kata Dwi.

Dampaknya tidak hanya dirasakan Indonesia karena Vietnam dan Filipina masih bergantung pada pasokan batu bara serta teknologi PLTU dari Korsel. Investor energi Korsel diperkirakan menarik diri dari proyek batu bara baru dan mengalihkan modal ke proyek energi terbarukan regional.

Pendiri Asia Research & Engagement (ARE) Ben McCarron menilai keputusan ini sebagai titik penting bagi masa depan energi Asia. “Ini bukan sekadar janji iklim, ini adalah sinyal ekonomi. Korea Selatan menunjukkan bahwa penghentian penggunaan batu bara secara bertahap merupakan bagian dari upaya untuk tetap kompetitif, dan hal ini meningkatkan standar bagi pemerintah Asia lainnya untuk mengikutinya,” kata McCarron.

Bagi Indonesia, tekanan pasar dari negara maju memperkuat urgensi mempercepat pensiun dini PLTU dan memperluas mekanisme pembiayaan transisi seperti Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition Partnership (JETP). “Sekaligus menarik investasi energi bersih seperti PLTS skala besar dan infrastruktur transmisi hijau. Tekanan pasar dari negara mitra dagang juga memperkuat urgensi diversifikasi ekonomi daerah tambang dan penguatan kebijakan energi bersih,” kata Dwi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement