Rabu 26 Nov 2025 16:44 WIB

Wamenhut: Pemerintah Akan Libatkan Masyarakat Adat dalam Skema Kredit Karbon

Percepatan penetapan hutan adat menjadi dasar partisipasi dalam kredit karbon.

Rep: Lintar Satria/ Red: Ahmad Fikri Noor
Layar menampilkan informasi pergerakan perdagangan karbon internasional. (Ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan
Layar menampilkan informasi pergerakan perdagangan karbon internasional. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Menteri Kehutanan Rohmat Marzuki mengatakan pemerintah sudah menyiapkan skema untuk memastikan masyarakat adat dan kelompok tani hutan dapat terlibat dalam pendanaan karbon, termasuk melalui penguatan status hutan adat dan perhutanan sosial. Rohmat menyebut komitmen Presiden Prabowo Subianto menetapkan 1,4 juta hektare hutan adat hingga 2029 menjadi landasan utama keterlibatan masyarakat adat dalam skema karbon.

Ia menjelaskan percepatan penetapan itu kini dijalankan melalui Satgas Percepatan Penetapan Hutan Adat, yang terdiri dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, serta organisasi masyarakat sipil seperti AMAN dan HUMA. “Satgas ini melakukan verifikasi masyarakat hukum adat, lalu mengusulkan dan menetapkan hutan adat,” ujarnya di sela Global Carbon Summit Indonesia, Rabu (26/11/2025).

Baca Juga

Selain hutan adat, Rohmat menyoroti perhutanan sosial sebagai instrumen penting pemberdayaan masyarakat. Ia mencatat, selama hampir satu dekade pemerintah telah memberikan akses perhutanan sosial seluas 8,32 juta hektare kepada kelompok tani di sekitar hutan. Skema ini memungkinkan mereka memanfaatkan kawasan hutan secara legal dan berkelanjutan.

Menurut Rohmat, kedua instrumen tersebut akan menjadi fondasi bagi partisipasi masyarakat adat dan kelompok tani hutan dalam pasar karbon. “Ketika nanti ada skema carbon credit, pelibatan dan pemberdayaan masyarakat adat maupun kelompok tani hutan itu akan kita perjuangkan,” katanya.

Ia menekankan pendampingan dan verifikasi menjadi kunci agar hak dan kapasitas masyarakat terjamin dalam ekosistem pendanaan karbon yang terus berkembang. Sebelumnya, masyarakat sipil mengatakan Indonesia dapat mendorong pelibatan masyarakat adat dalam penanggulangan krisis iklim di panggung internasional.

Deputi I Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Urusan Organisasi, Eustobio Rero Renggi, mencatat Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) yang digelar pada 10–20 November di Belem, Brasil menghasilkan keputusan penting yang mengakomodasi hak kolektif Masyarakat Adat di dalam dokumen Program Transisi yang Adil, atau Just Transition Work Programme.

Dokumen resmi tersebut menegaskan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak Masyarakat Adat, termasuk penerapan Free Prior and Informed Consent (FPIC), hak atas penentuan nasib sendiri, serta perlindungan terhadap Masyarakat Adat yang hidup mengisolasi diri secara sukarela (voluntary isolation).

Renggi mengatakan keputusan ini menjadi momentum penting bagi Indonesia, mengingat pemerintah telah berkomitmen pada COP30 untuk mengakui 1,4 juta hektare hutan adat. Namun, angka tersebut merupakan langkah awal yang perlu diperluas dan diperkuat, mengingat 33,6 juta hektare peta wilayah adat telah diserahkan kepada pemerintah. Apalagi terdapat komitmen tenurial secara luas di tingkat internasional seluas 160 juta hektare.

“Kalau Indonesia mau memimpin, pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat harus dipercepat. Yang paling penting adalah mengesahkan RUU Masyarakat Adat, sehingga apa yang disampaikan pemerintah Indonesia di COP30 tidak sekadar janji politik di panggung global. Apalagi Pemerintah Indonesia terlibat dalam kesepakatan global untuk memastikan komitmen tenurial seluas 160 juta hektare,” katanya di konferensi pers Refleksi dari COP30: Langkah Lanjut untuk Aksi Iklim yang Berkeadilan, Selasa (25/11/2025).

Torry mengakui, meski COP30 membawa kemajuan besar bagi Masyarakat Adat, tindak lanjutnya perlu dibuktikan dalam implementasi negara masing-masing. “Di Indonesia nanti perjuangannya masih panjang, belum lagi soal akses masyarakat terhadap pendanaan langsung masih jauh panggang dari api, mekanismenya belum ada,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement