REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penertiban kebun sawit ilegal di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, menuai protes warga yang khawatir terhadap potensi relokasi. Pemerintah pusat dan daerah menegaskan belum ada keputusan pemindahan penduduk, namun Kementerian Kehutanan (Kemenhut) tetap memperkuat operasi pengamanan untuk menjaga habitat gajah sumatera dan mencegah perambahan ulang.
Ketegangan meningkat setelah pos komando taktis operasi penertiban didatangi kelompok massa yang menolak penertiban dan merusak fasilitas negara. Untuk menghindari bentrokan, aparat yang bertugas dipindahkan sementara ke kantor seksi pengelolaan.
Dalam video yang beredar di platform X, warga tampak membongkar gapura pos jaga dan plang penanda kawasan di TNTN pada Senin (24/11/2025). Saat ini, plang penanda kawasan TNTN telah dipasang kembali oleh aparat keamanan.
Kemenhut menyatakan telah menambah kekuatan pengamanan dengan 30 personel militer dan 20 polisi kehutanan untuk memastikan operasi penegakan hukum tetap berjalan.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Dwi Januanto Nugroho menegaskan, operasi di TNTN ditujukan untuk memulihkan ekosistem yang selama ini rusak akibat kebun sawit ilegal. “Publik mengenal Tesso Nilo lewat sosok gajah kecil bernama Domang. Bagi kami, Domang bukan sekadar tokoh viral di media sosial. Ia adalah simbol generasi baru gajah Sumatera yang berhak atas rumah yang utuh, aman, dan bebas dari kebun ilegal,” ujar dia dalam keterangannya, Selasa (25/11/2025).
Dalam operasi terbaru, kementerian menertibkan sekitar 4.700 hektare kebun sawit ilegal dan membongkar tempat penampungan sawit untuk memutus rantai pasok. Aparat juga memasang papan larangan guna mencegah pembukaan lahan baru. Pemulihan ekosistem menargetkan 8.000 hektare areal prioritas.
Kemenhut menegaskan menghormati hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat secara damai. Akan tetapi, kata Dwi, perusakan fasilitas negara dan upaya menghalangi penegakan hukum tidak dapat dibenarkan.
Dwi menambahkan, aparat keamanan akan melakukan patroli rutin, menjaga titik-titik rawan perambahan, mengawasi pos jaga, portal, dan parit batas, serta mengawal pelaksanaan pemulihan ekosistem.
Dia menegaskan, penegakan hukum di Tesso Nilo diarahkan untuk mengembalikan taman nasional ini sebagai rumah Domang dan kawanan gajah lainnya, bukan hamparan kebun sawit. “Operasi penertiban di Tesso Nilo kami rancang untuk memutus rantai bisnis perusakan kawasan, bukan mengorbankan rakyat. Fokus kami menyasar para pemilik lahan, pemodal, dan pengendali alat berat yang memperdagangkan kawasan hutan negara," kata Dwi.
Sebelumnya, gelombang protes juga datang dari warga Pelalawan dan Indragiri Hulu yang mendatangi Kantor Gubernur Riau. Mereka mengaku kebingungan dengan beragam sikap pemerintah dan lembaga negara terkait nasib permukiman yang berada dalam zona taman nasional.
Sebagian warga mengeklaim memiliki sertifikat hak milik yang diterbitkan pada 1998–1999, jauh sebelum kawasan ditetapkan sebagai taman nasional.
“Komisi XIII menolak relokasi dan meminta jangan benturkan aparat TNI dan polisi dengan masyarakat,” kata Wandri Saputra Simbolon dari Aliansi Masyarakat dan Mahasiswa Pelalawan.
Daniel Haposan Sirait dari Forum Desa Korban Tata Kelola Hutan Indragiri Hulu turut mempertanyakan rencana relokasi. “Kami ini mau direlokasi atau bagaimana. Tiga desa kami punya 1.806 SHM dan yang masuk kawasan TNTN ada 1.032 SHM,” ucapnya.
Gubernur Riau Abdul Wahid menegaskan belum ada keputusan relokasi. Pemerintah provinsi masih melakukan inventarisasi dan verifikasi pemilik kebun sesuai mandat Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan. “Kita diperintahkan menginventarisasi siapa yang punya kebun, berapa luasnya dan desa mana. Kalau relokasi ke mana, belum ada keputusan apapun,” ujarnya.
Abdul Wahid menyebut rekomendasi DPR dan Komnas HAM tetap dihargai, namun belum ada komunikasi resmi ke pemerintah provinsi. Ia memastikan proses verifikasi tidak memaksa warga dan temuan lapangan akan dilaporkan ke Satgas PKH pusat.
Kementerian HAM ikut menangani polemik ini setelah Komisi XIII DPR RI menyimpulkan bahwa relokasi warga Tesso Nilo berpotensi melanggar hak asasi manusia. Dirjen Pelayanan dan Kepatuhan HAM, Munafrizal Manan, sebelumnya memastikan kementeriannya akan memimpin koordinasi lintas lembaga demi penyelesaian yang berkeadilan.
“Perlindungan dan pemenuhan HAM bagi warga masyarakat di Kawasan TNTN menjadi prioritas utama pemerintah dalam penyelesaian permasalahan ini,” ujarnya.
Manan mengingatkan sekitar 11.000 kepala keluarga atau 40 ribu jiwa telah hidup turun-temurun di kawasan tersebut sebelum ditetapkan sebagai taman nasional. “Relokasi niscaya berdampak besar pada kehidupan masyarakat dan berpotensi mencabut mereka dari wilayah asal-usulnya,” katanya.
Kementerian HAM juga akan menggelar pertemuan dengan masyarakat terdampak serta berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan, Satgas PKH, pemerintah daerah, Komnas HAM, dan LPSK untuk mencari solusi yang tidak mengorbankan hak-hak warga. Pemerintah berharap penyelesaian berbasis dialog dan prinsip HAM dapat segera dicapai tanpa mengabaikan perlindungan ekosistem penting Tesso Nilo dan habitat gajah sumatera.