Selasa 25 Nov 2025 09:02 WIB

Menteri Lingkungan Hidup: Keputusan COP30 Harus Jadi Aksi Nyata

Mobilisasi Pembiayaan Dan teknologi jadi cara untuk Indonesia capai target NZE

Rep: Lintar Satria/ Red: Intan Pratiwi
Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim (COP30 UNFCCC) sekaligus Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Lingkungan Hidup Hashim Djojohadikusumo (tengah) didampingi Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dan Wakil Menteri Kehutanan Rohmat Marzuki membuka secara resmi Paviliun Indonesia sebagai ajang soft diplomacy dalam rangkaian acara Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim ke-30 tersebut.
Foto: kehutanan.go.id
Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim (COP30 UNFCCC) sekaligus Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Lingkungan Hidup Hashim Djojohadikusumo (tengah) didampingi Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq dan Wakil Menteri Kehutanan Rohmat Marzuki membuka secara resmi Paviliun Indonesia sebagai ajang soft diplomacy dalam rangkaian acara Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim ke-30 tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dengan berakhirnya Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) di Belem, Brasil, Menteri Lingkungan Hidup Indonesia Hanif Faisol Nurofiq menegaskan kembali kesiapan bekerja secara konstruktif untuk memastikan mobilisasi pembiayaan, teknologi, dan kapasitas untuk pembangunan rendah karbon dapat diwujudkan dengan efektif.

“Keputusan COP30 harus menjadi pijakan kuat bagi aksi nyata yang melindungi masyarakat, memperkuat ketahanan nasional, dan memastikan transisi menuju pembangunan rendah karbon berlangsung secara adil, inklusif, dan berkelanjutan tanpa ada pihak yang tertinggal,” kata Hanif dalam pernyataannya, Senin (24/11/2025).

Dalam pernyataannya Delegasi Indonesia di COP30 mengatakan transisi menuju ekonomi rendah karbon harus bersifat adil, tidak menambah beban utang, dan didukung hibah yang dapat diprediksi. Delegasi mengatakan Indonesia bersama G77 and Cina terus mendorong pembentukan Mekanisme Transisi Berkeadilan (JTM) agar tidak terjadi tindakan unilateral yang merugikan negara berkembang.

Pada pembahasan Pasal 6 dalam Perjanjian Paris, Indonesia menekankan pentingnya pendanaan untuk kesiapan teknis dan registri internasional agar mekanisme pasar dan non-pasar dapat beroperasi dengan integritas. Indonesia juga menekankan urgensi transisi proyek Clean Development Mechanism (CDM) dari Protokol Kyoto ke dalam kerangka Pasal 6 untuk memastikan kepastian bagi pelaku usaha dan konsistensi integritas pasar karbon global.

Pasal 6 dalam Perjanjian Paris mengatur kerja sama internasional antarnegara untuk mencapai target iklim (NDC) mereka, khususnya melalui mekanisme Pasar Karbon.

Di bidang pendanaan, Indonesia menyerukan reformasi arsitektur keuangan internasional untuk memastikan dukungan yang dapat diprediksi, berbasis hibah, dan tidak membebani negara berkembang. Indonesia kembali menegaskan target pembiayaan iklim global sebesar 1,3 triliun dolar AS per tahun pada 2035, termasuk 300 miliar dolar AS yang dialokasikan khusus untuk negara berkembang, serta mendesak tripling pembiayaan adaptasi menuju 2030 untuk mencapai sedikitnya 120 miliar dolar AS per tahun.

Indonesia juga menekankan Global Stocktake harus mengarah pada aksi konkret melalui dialog terstruktur, penguatan kapasitas, akses teknologi, dan dukungan finansial. Indonesia menyoroti pentingnya penguatan Climate Technology Centre (CTC) dan peluncuran Technology Implementation Programme (TIP) agar teknologi dapat diakses secara nyata oleh negara berkembang, tidak berhenti sebagai komitmen normatif. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement