REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebih dari seperlima spesies yang bermigrasi di dunia berisiko punah akibat perubahan iklim dan perambahan yang dilakukan manusia. Demikian menurut laporan pertama tentang hewan yang bermigrasi yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Miliaran hewan melakukan perjalanan melintasi gurun, dataran, atau lautan setiap tahun untuk berkembang biak serta mencari makan. Menurut laporan PBB, tekanan tidak berkelanjutan yang menimpa spesies yang bermigrasi tersebut, tidak hanya membuat populasi mereka berkurang, tetapi juga mengganggu pasokan makanan dan mengancam mata pencaharian mereka.
Dari 1.189 spesies yang tercakup dalam konvensi PBB tahun 1979 untuk melindungi hewan yang bermigrasi, 44 persen mengalami penurunan jumlah, dan sebanyak 22 persen dapat lenyap sama sekali.
Angka-angka tersebut didasarkan pada penilaian dan data yang disediakan oleh International Union for the Conservation of Nature (IUCN) serta Living Planet Index, yang mengumpulkan jumlah populasi lebih dari 5.000 spesies sejak tahun 1970 dan seterusnya.
“Laporan ini memberikan arahan yang sangat jelas mengenai apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi ancaman terhadap spesies yang bermigrasi. Ini selalu tentang implementasi,” kata Amy Fraenkel, sekretaris eksekutif Konvensi PBB untuk Konservasi Spesies Hewan Liar yang Bermigrasi, seperti dilansir Reuters, Sabtu (17/2/2024).
Manusia menjadi ancaman terbesar, dengan kegiatan yang mencakup perburuan, penangkapan ikan, dan bentuk-bentuk eksploitasi berlebihan lainnya yang berdampak pada 70 persen spesies yang ada dalam daftar PBB.
Hilangnya habitat mempengaruhi hingga 75 persen spesies, menggarisbawahi perlunya lebih banyak konektivitas antara ekosistem yang terisolasi. Para penulis laporan tersebut mendesak pemerintah untuk menghindari gangguan terhadap habitat dan jalur migrasi ketika memasang infrastruktur seperti bendungan, jaringan pipa atau turbin angin.
"Kita perlu melihat pada tingkat atas pengambilan keputusan pemerintah, dan apa yang sedang direncanakan sehingga kita dapat memastikan bahwa kita dapat memenuhi kebutuhan manusia tanpa mengorbankan alam yang kita semua perlukan untuk bertahan hidup,” kata Fraenkel.
Tekanan-tekanan tersebut diperparah oleh perubahan suhu, yang mengganggu waktu migrasi, menyebabkan tekanan panas, serta mendorong terjadinya peristiwa-peristiwa terkait cuaca yang semakin merusak seperti kekeringan atau kebakaran hutan.
"Perubahan yang telah diprediksi beberapa tahun yang lalu kini telah terjadi," kata Fraenkel.
Para pihak dalam Konvensi melakukan pertemuan setiap tiga tahun sekali untuk meninjau spesies baru yang akan ditambahkan ke dalam daftar pantauan. Di antara hewan-hewan yang sedang dipertimbangkan dalam pertemuan di Samarkand pekan ini adalah ikan berkumis (Catfish) Amazon raksasa.
PBB juga akan meluncurkan program baru untuk memberikan bantuan teknis kepada negara-negara untuk melindungi habitat secara lebih efektif. Para ahli konservasi mendesak pemerintah untuk menghormati janji mereka di tahun 2022 di bawah perjanjian keanekaragaman hayati global yang baru untuk menyisihkan 30 persen dari wilayah daratan dan lautan dunia untuk alam pada tahun 2030.
"Jika pemerintah melakukan semua yang telah mereka janjikan, maka (laporan PBB) berikutnya akan memiliki kabar baik," kata Susan Lieberman, wakil presiden kebijakan internasional di Wildlife Conservation Society, yang menghadiri pertemuan Samarkand.