REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Korea Selatan dilaporkan membutuhkan lebih banyak pembangkit listrik tenaga nuklir untuk sepenuhnya meninggalkan batu bara dan memenuhi target iklimnya. Demikian menurut sebuah lembaga penelitian yang dikendalikan oleh negara.
Menurut laporan yang diterbitkan oleh Korea Energy Information Culture Agency, energi nuklir harus menyumbang 40-45 persen dari pasokan listrik, di mana saat ini baru sekitar 30 persen. Dengan begitu, Korea Selatan dapat meniadakan emisinya pada pertengahan abad ini.
Energi terbarukan juga harus menyediakan sebanyak 35 persen, dengan gas alam dan sumber-sumber bebas karbon seperti hidrogen untuk sisanya.
Korea Selatan adalah salah satu dari beberapa negara termasuk Inggris dan Amerika Serikat yang sedang mengkaji pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Negara ini menghadapi peningkatan permintaan listrik dari industri termasuk semikonduktor, baterai dan pusat data, sehingga membutuhkan reaktor baru.
"Untuk memastikan pasokan listrik yang stabil sambil mencoba mencapai nol nol, kita harus mengandalkan nuklir,” kata Jegarl Seong, kepala peneliti di Korea Electric Power Research Institute dan penulis utama makalah tersebut.
“Tentu saja, kita juga perlu meningkatkan energi bersih dan sumber-sumber bebas karbon lainnya sembari mengupayakan perluasan jaringan listrik untuk memenuhi lonjakan permintaan listrik,” tambah dia seperti dilansir Bloomberg, Sabtu (17/2/2024).
Pemerintah Korea Selatan juga sedang mempertimbangkan rencana untuk memulai pembangunan reaktor nuklir baru mulai awal 2024, yang akan tercermin dalam Rencana Dasar ke-11 untuk Pasokan dan Permintaan Listrik Jangka Panjang tahun ini.