Selasa 27 Feb 2024 22:57 WIB

Pakar: Emosi Negatif Terkait Iklim Timbulkan Gejala Insomnia

Gejala-gejala insomnia ditemukan di banyak negara yang terkait dengan iklim.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Emosi negatif terkait iklim memiliki korelasi dengan gejala insomnia dan kesehatan mental seseorang.
Foto: Dok. Freepik
Emosi negatif terkait iklim memiliki korelasi dengan gejala insomnia dan kesehatan mental seseorang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar psikologi sosial dari Universitas Airlangga, Rakhman Ardi, menyatakan bahwa emosi negatif terkait iklim memiliki korelasi dengan gejala insomnia dan kesehatan mental seseorang. Hal itu telah dibuktikan melalui studi yang dilakukan Rakhman Ardi bersama puluhan pakar lain dari 25 negara.

Rakhman mengatakan bahwa studi lintas negara tersebut dilakukan pada tahun 2019 hingga 2020 dan dipublikasikan di jurnal Springer pada 2021, dengan melibatkan berbagai sampel individu dari 25 negara termasuk Indonesia. Total responden adalah 10.143 mahasiswa dengan rerata usia 23 tahun.

Baca Juga

Hasil survei lintas negara menunjukkan bahwa emosi negatif terkait iklim berkorelasi positif dengan gejala insomnia di semua negara. Hubungan ini signifikan di semua negara termasuk Indonesia, kecuali Cina, Italia, Jepang, Malaysia, Norwegia, Sloakia, dan Tanzania.

“Secara umum terdapat kesetaraan tingkat korelasi antara emosi negatif terkait iklim dan gejala insomnia di negara-negara barat dan non barat. Namun terdapat perbedaan tingkat kekuatan korelasi emosi negatif, di Indonesia misalnya, korelasi emosi negatif terkait iklim terhadap kesehatan mental masih kurang kuat,” kata Rakhman saat dihubungi Republika, Selasa (27/2/2024).

Menurut analisa Rakhman, lemahnya korelasi antara emosi negatif terkait iklim dengan gejala insomnia dan kesehatan mental anak muda di Indonesia, salah satunya bisa disebabkan oleh minimnya kesadaran akan krisis iklim dari para partisipan. Perlu diakui, kata dia, exposure akan problematika iklim di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara Barat.

Selain itu, masyarakat Indonesia secara keseluruhan juga sudah terbiasa hidup dengan paparan sinar matahari dan suhu yang panas. Karenanya, ketika suhu rata-rata hanya meningkat satu atau dua derajat, mayoritas masyarakat Indonesia tidak akan menganggap itu sebagai bencana iklim.

“Kita itu kan terbiasa dengan cuaca panas ya, jadi kalau degree nya naik sedikit, tidak akan terasa oleh masyarakat kita. Beda dengan negara-negara barat yang lokasinya dekat kutub, di mana peningkatan suhu panas itu akan sangat terasa bagi mereka. Kondisi ini pada akhirnya menghasilkan tingkat kesadaran yang berbeda terkait perubahan iklim,” kata Rakhman.

Rakhman juga membuka kemungkinan adanya peningkatan gangguan mental terkait perubahan iklim di Indonesia. Terutama ketika bencana ekologis akibat perubahan iklim terjadi semakin ekstrem dan intens.

Misalnya, ketika gelombang panas terjadi secara berkepanjangan, maka itu bisa memicu masyarakat untuk melakukan perilaku yang agresif. Begitupun ketika bencana kekeringan membuat para petani gagal panen, ini bisa memicu kondisi depresi di masyarakat.

“Jika banyak orang yang mengalami dampak langsung dari perubahan iklim, maka sangat mungkin terjadi peningkatan gangguan mental termasuk perilaku agresif dan stres. Apalagi sebetulnya kita itu bisa optimal berkegiatan di bawah 27 derajat Celcius, jika panasnya terus naik dari itu, maka orang-orang pasti gampang diprovokasi,” ungkap Rakhman.

Sebagai bentuk antisipasi, ia pun menyarankan agar pemerintah membuat aturan yang lebih serius dan sistemik. Misalnya dalam hal pendidikan, pemerintah bisa merancang kurikulum yang memuat terkait materi perubahan iklim. Dengan begitu, sedari dini, anak-anak Indonesia bisa memiliki kesadaran yang cukup terkait dampak perubahan iklim dan bagaimana mengatasinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement