Rabu 13 Mar 2024 17:05 WIB

Bertepatan dengan Musim Hujan, Ramadhan Tahun Ini Lebih 'Basah'

Pertumbuhan awan-awan hujan sudah cukup intens selama Maret 2024.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Warga melindungi kepalanya menggunakan jaket saat hujan turun di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Warga melindungi kepalanya menggunakan jaket saat hujan turun di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa fenomena cuaca El Nino masih akan berlangsung hingga Maret atau April 2024, yang bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. El Nino sering kali menyebabkan peningkatan suhu permukaan laut dan mengurangi curah hujan di beberapa wilayah.

Lantas apakah bulan Ramadhan tahun ini akan mengalami peningkatan suhu panas? Senior Forecaster BMKG, Fierda Novikarany, mengatakan bahwa peningkatan suhu belum tentu terjadi selama Ramadhan. Ia menjelaskan, peningkatan suhu akan bergantung pada dinamika atmosfer yang berlangsung, karena peningkatan suhu dapat dipicu salah satunya oleh posisi matahari dan tutupan awan.

Baca Juga

Menurut Fierda, perubahan cuaca selama bulan puasa dapat bervariasi setiap tahunnya, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti iklim regional dan pola cuaca global. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus, peralihan musim dapat menyebabkan suhu yang lebih tinggi.

“Tetapi suhu yang lebih tinggi tidak selalu terjadi setiap tahunnya. Jadi perlu dipantau terus perkembangan kondisi cuacanya. Masyarakat diharapkan untuk memantau prakiraan cuaca guna mendapatkan informasi yang lebih tepat,” kata Fierda saat dihubungi Republika, Rabu (13/3/2024).

Fierda juga menyampaikan bahwa periode bulan Ramadhan tahun ini bertepatan dengan periode musim hujan, di mana pertumbuhan awan-awan hujan sudah cukup intens. Melihat kondisi ini, ada kemungkinan Ramadhan tahun ini menjadi lebih basah.

Terkait durasi puasa yang hampir 14 jam, Fierda menyatakan bahwa penambahan durasi waktu magrib biasanya disebabkan oleh perubahan musim dan posisi matahari, bukan karena pengaruh cuaca ekstrem.

“Selama peralihan musim, terutama di wilayah-wilayah di dekat kutub, waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit bisa menjadi lebih panjang atau lebih pendek,” kata Fierda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement