Kamis 21 Mar 2024 21:50 WIB

Sukla Project Atasi Masalah Sampah di Bali dengan Pendekatan Lokal

Bali menempati urutan ke delapan provinsi dengan timbunan sampah terbanyak.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Warga memungut sampah plastik di kawasan Pantai Kedonganan, Badung, Bali.
Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
Warga memungut sampah plastik di kawasan Pantai Kedonganan, Badung, Bali.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sampah telah menjadi salah satu masalah utama di berbagai daerah Indonesia, tak terkecuali Bali. Daerah yang dinobatkan sebagai destinasi wisata terbaik ini menempati urutan ke delapan sebagai provinsi dengan timbunan sampah terbanyak mencapai 915 ribu ton pada 2021, merujuk data sistem informasi pengelolaan sampah nasional (SIPSN) KLHK.

Berangkat dari kekhawatiran atas timbulan sampah yang tinggi, organisasi lingkungan Bali Waste Cycle, Rebricks dan WasteHub menginisiasi sebuah proyek kolaborasi bernama Sukla Project. Project yang difasilitasi GoTo Impact Foundation melalui program Catalyst Changemakers Ecosystem (CCE) tersebut berfokus di area Besakih, pura terbesar di Bali yang sudah menjadi tujuan wisata kelas dunia.

Baca Juga

Sukla Project mencatat, di wilayah Desa Besakih terdapat sekitar 7,5 ton sampah yang dihasilkan baik sampah organik maupun anorganik. Dari jumlah tersebut hanya 6,7 persen yang dikelola, dan sisanya dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).

“Salah satu kendala mendasar yang saya temui di Besakih adalah terdapatnya missing link yang menjembatani ataupun memfasilitasi antara pemegang kepentingan di rantai nilai persampahan. Meskipun masing-masing pihak memiliki kekuatan dan telah menjalankan peran, namun upaya yang dilakukan masih sendiri-sendiri sehingga tidak bisa mengentaskan masalah sampah secara holistik,” kata Olivia Padang yang tergabung di konsorsium Sukla Project.

Agar proyek ini betul-betul selaras dan memberi nilai manfaat bagi masyarakat lokal, tim Sukla Project menjalin koordinasi dengan pemerintah daerah setempat, otoritas desa, tokoh adat, hingga komunitas pemuda. Bahkan Sukla Project juga menjadikan komunitas lokal penggerak TPS 3R sebagai mitra, bukan sebagai penerima manfaat.

“Pendekatan yang baik dan sesuai itu penting, karena bagaimanapun kita adalah orang luar, sehingga harus bisa memahami sudut pandang dari pemerintah daerah, para tokoh setempat, dan masyarakat lokalnya. Jika kita semua sudah bisa selaras, maka project ini pun bisa terlaksana dengan optimal,” kata Perwakilan Konsorsium Sukla Project, Ranitya Nurlita, dalam webinar CCE di Jakarta, Kamis (21/3/2024).

Ranitya menjelaskan bahwa titim Sukla juga telah melakukan profiling untuk mengetahui pola pengelolaan sampah yang dilakukan warga. Mulai dari pola pikir, tingkat berlangganan layanan sampah TPS 3R, dan kendala dalam pembuangan sampah.

Tak hanya itu, tim Sukla juga rutin mengikuti kegiatan budaya atau upacara di Besakih, misalnya Upacara Ngaben atau pemakaman tradisional Bali. Tim Sukla menghadiri serta mengamati rangkaian acara pemakaman tradisional Bali dan mengetahui bahwa potensi sampah yang dihasilkan rata-rata sebanyak 500 kilogram. Sampah yang ditimbulkan berupa sampah organic (bebanten/sajen), plastik kresek sebagai bungkus, dan botol kemasan air mineral.

Dengan membangun sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan, Sukla Project mengintegrasikan penggunaan data, edukasi, serta teknologi yang sesuai dengan tradisi lokal, seperti mesin untuk limbah dari upacara adat.

“Dan profiling itu mulai dari bulan Oktober dan bahkan sampai sekarang masih terus dilakukan. Data-data itu kami kumpulkan sebagai mungkin, karena itu yang akan membantu kami dalam mengintegrasikan program kami di Besakih sekaligus memperkuat jaringan kolaborasi dengan masyarakat lokal,” jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement