Selasa 09 Apr 2024 21:16 WIB

Jumlah Hutan Tropis yang Hilang Alami Penurunan Pada 2023

Pada 2023, dunia kehilangan sekitar 37 ribu kilometer persegi hutan primer tropis.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Pada 2023, dunia kehilangan sekitar 37 ribu kilometer persegi hutan primer tropis.
Foto: www.freepik.com
Pada 2023, dunia kehilangan sekitar 37 ribu kilometer persegi hutan primer tropis.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah analisis dari Global Forest Watch mengungkap bahwa pada tahun 2023, tingkat kehilangan hutan tropis mengalami penurunan. Akan tetapi, indikator lain menunjukkan bahwa hutan dunia masih berada di bawah ancaman yang sangat besar.

Tingkat kehilangan hutan primer, hutan yang belum terjamah manusia dan terkadang dikenal sebagai hutan tua, di daerah tropis pada 2023 menurun 9 persen dibandingkan tahun 2022. Namun, para peneliti Global Forest Watch mengatakan, tingkat kerusakannya masih sangat tinggi.

Baca Juga

Pada 2023, dunia kehilangan sekitar 37 ribu kilometer persegi hutan primer tropis. Ini setara dengan luas wilayah Swiss dan lebih besar dari negara bagian Maryland, Amerika Serikat.

Hutan primer tropis dianggap sebagai hutan yang paling berharga karena vegetasinya yang rimbun merupakan hutan yang paling padat dengan karbon. Hutan-hutan ini juga merupakan harta karun keanekaragaman hayati. Hutan hujan Amazon, misalnya, merupakan rumah bagi setidaknya 10 persen spesies yang dikenal di bumi.

“Hilangnya hutan primer tropis tahun lalu menyebabkan emisi gas rumah kaca yang setara dengan setengah dari emisi Amerika Serikat yang disebabkan oleh pembakaran fosil bahan bakar setiap tahunnya,” kata direktur Global Forest Watch, Mikaela Weisse seperti dilansir Reuters, Selasa (9/4/2024).

Brazil, Republik Demokratik Kongo dan Bolivia menduduki peringkat teratas negara tropis dengan kehilangan hutan primer terbanyak. Hal ini terjadi meskipun tingkat kerusakan di Brazil turun 36 persen, karena Presiden Luiz Inacio Lula da Silva menerapkan kebijakan konservasi yang agresif, terutama di Amazon.

Negara tetangganya, Kolombia, mengalami penurunan kehilangan hutan sebesar 49 persen. Weisse mengatakan bahwa presiden Kolombia, Gustavo Petro, menjadikan pelestarian lingkungan sebagai bagian penting dalam proses perdamaian dengan kelompok-kelompok bersenjata yang mendominasi kawasan hutan.

Kerusakan hutan di Republik Demokratik Kongo masih relatif stabil, namun cukup tinggi, yaitu sekitar 5.000 kilometer persegi. Di posisi ketiga, Bolivia mengalami kehilangan hutan primer tertinggi selama tiga tahun berturut-turut, dengan tingkat kerusakan yang melonjak 27 persen. Produksi pertanian dan kebakaran menjadi penyebab utama hilangnya hutan.

Global Forest Watch juga mencatat bahwa deforestasi secara global meningkat 3,2 persen pada tahun 2023. Kehilangan hutan termasuk kerusakan alami seperti kebakaran hutan, hama, dan badai angin pada hutan yang dapat tumbuh kembali. Deforestasi mengacu pada orang-orang yang secara permanen mengubah hutan menjadi penggunaan lain seperti pertanian dan lebih sulit untuk diukur.

Direktur hutan World Resources Institute, Rod Taylor, mengungkap bahwa pada tahun 2021, lebih dari 140 negara berkomitmen untuk mengakhiri deforestasi pada akhir dekade ini.

"Kita sudah jauh keluar dari jalur dan bergerak ke arah yang salah dalam hal mengurangi deforestasi global," ujar Taylor.

Brasil, Indonesia dan Bolivia memimpin dalam hal deforestasi, diikuti oleh Republik Demokratik Kongo.

Kehilangan tutupan pohon meningkat 24 persen di semua hutan di seluruh dunia pada tahun 2022, sebagian besar disebabkan oleh kebakaran hutan yang sangat besar di Kanada. Kehilangan hutan di Kanada yang mencapai lebih dari 80 ribu kilometer persegi, tiga kali lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, mengimbangi penurunan kehilangan hutan di seluruh dunia.

"Ini merupakan salah satu anomali terbesar yang pernah tercatat," ujar peneliti dari University of Maryland, Matt Hansen.

Sementara deforestasi di daerah tropis merupakan penyebab perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia, kebakaran di Kanada lebih merupakan gejala pemanasan global, yang menyebabkan kondisi yang lebih panas dan lebih kering yang memicu kebakaran yang lebih besar.

"Ini adalah masalah besar, dan ini merupakan peringatan akan dampak iklim terhadap kebakaran," kata Hansen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement