REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG — Mahkamah Internasional (ICJ) akan mengeluarkan opini tak mengikat pada 23 Juli 2025 terkait kewajiban negara-negara dalam mengatasi perubahan iklim. Opini hukum ini diperkirakan akan menjadi preseden penting bagi gugatan iklim di berbagai negara.
Dalam pernyataan resminya, Senin (7/7/2025), Mahkamah menyebut opini tersebut dapat dijadikan rujukan dalam proses hukum global, terutama untuk menguji tanggung jawab negara-negara besar yang selama ini menjadi penyumbang utama emisi gas rumah kaca terhadap dampak yang dialami negara-negara kepulauan kecil.
Selama sidang dua pekan pada Desember 2024, negara-negara maju berargumen bahwa tanggung jawab iklim harus merujuk pada perjanjian seperti Paris Agreement, yang bersifat sebagian besar tidak mengikat.
Sebaliknya, negara-negara berkembang dan kepulauan kecil menuntut langkah konkret untuk menekan emisi serta meminta kontribusi nyata negara-negara kaya terhadap dana iklim.
Meski bersifat non-mengikat, opini Mahkamah memiliki bobot hukum dan politik yang signifikan. Keputusan ini dapat memperkuat posisi negara atau kelompok masyarakat dalam gugatan iklim di pengadilan regional maupun nasional, termasuk di Eropa dan Amerika Latin.
Pekan lalu, Pengadilan Hak Asasi Manusia Intra-Amerika juga menerbitkan opini serupa yang mendorong 20 negara anggotanya di Amerika Latin dan Karibia untuk bekerja sama melindungi lingkungan dan mencegah kebijakan yang memperburuk krisis iklim.
Menurut data Sabin Center for Climate Change Law, gugatan hukum terkait iklim di seluruh dunia terus meningkat. Tercatat ada 308 kasus terkait penilaian dan perizinan lingkungan, 240 kasus menyangkut emisi gas rumah kaca, dan 180 kasus yang menyentuh isu hak asasi manusia.
Selain itu, terdapat 43 kasus energi dan listrik, 48 kasus perlindungan keanekaragaman hayati, serta puluhan gugatan lain terkait perdagangan, adaptasi, dan kepercayaan publik.