REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Sukun kini dinilai tidak lagi sekadar sumber pangan lokal, tetapi juga memiliki fungsi strategis sebagai salah satu solusi dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan, perubahan iklim, dan restorasi hutan.
Hal tersebut mengemuka dalam Seminar Nasional “Revolusi Hilirisasi Agroforestri Berbasis Sukun Menuju Kedaulatan Pangan & Model Bisnis Potensial yang Berkelanjutan” yang digelar di Bale Sawala, Gedung Rektorat Universitas Padjadjaran, Sumedang, Rabu.
Ketua Panitia Seminar Nasional, Arya Yudas, mengatakan optimisme terkait potensi besar agroforestri berbasis sukun bagi Indonesia. Sukun bukan hanya sekadar sumber pangan, tetapi juga solusi berkelanjutan bagi berbagai tantangan bangsa.
“Agroforestri berbasis sukun menawarkan jalan tengah untuk mengatasi kerusakan lingkungan, ketahanan pangan, dan perubahan iklim yang semakin mengancam. Kami percaya, dengan memanfaatkan sukun secara maksimal, kita bisa memperbaiki tanah yang rusak sekaligus mengurangi ketergantungan pada satu jenis tanaman saja,” ujarnya.
Menurut Arya, seminar ini bertujuan menyatukan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, akademisi, hingga pelaku industri, untuk menciptakan sistem pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. “Seminar ini juga mendorong kolaborasi lintas sektor agar hilirisasi agroforestri berbasis sukun dapat berkembang lebih luas,” katanya.
Hilirisasi produk sukun menjadi salah satu fokus utama seminar. Sukun dapat diolah menjadi tepung, mi, keripik, hingga produk bernilai ekspor.
Mi sukun, misalnya, disebut-sebut sebagai alternatif mi instan bebas terigu yang memiliki pasar luas dan berpotensi tinggi di tengah tren makanan sehat. Saat ini, menurut Market Research Reports, pasar global sukun mencatat pertumbuhan CAGR sebesar 18,6 persen dengan proyeksi nilai pasar mencapai 2,802 miliar dolar AS pada 2032.