REPUBLIKA.CO.ID, RIO DE JANEIRO -- Kelompok negara BRICS mendesak negara-negara kaya untuk mendanai upaya mitigasi emisi gas rumah kaca di negara-negara berkembang. Presiden Brasil, Luiz Inacio Lula da Silva, juga mengecam penyangkalan terhadap perubahan iklim dalam pidatonya.
Pernyataan Lula tersebut dinilai sebagai sindiran terhadap Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang sebelumnya menarik AS keluar dari Perjanjian Paris. “Penyangkalan dan unilateralisme saat ini mengikis pencapaian masa lalu dan merugikan masa depan,” kata Lula dikutip dari Reuters, Senin (7/7/2025).
Brasil dijadwalkan menjadi tuan rumah Conference of the Parties (COP30) pada November mendatang. “Posisi Global South adalah memimpin paradigma pembangunan baru tanpa mengulang kesalahan masa lalu,” tegas Lula.
Sehari sebelumnya, Ahad (6/7/2025), Trump mengkritik BRICS dengan menuduh blok tersebut menerapkan kebijakan “anti-Amerika”. Ia bahkan mengancam akan mengenakan tambahan tarif sebesar 10 persen terhadap negara-negara anggota BRICS.
Namun, negara-negara anggota BRICS membantah tuduhan itu dan menegaskan kembali komitmen terhadap tatanan dunia yang multilateral.
Dalam pertemuan BRICS di Rio de Janeiro, Lula juga mendesak dunia agar segera beralih dari penggunaan bahan bakar fosil, yang menjadi penyumbang utama perubahan iklim. Meski demikian, dalam pernyataan bersama, para pemimpin BRICS menyatakan bahwa bahan bakar fosil masih akan memainkan peran penting dalam bauran energi global, terutama di negara-negara berkembang.
Hal ini menunjukkan adanya keberagaman posisi di antara negara-negara anggota BRICS, yang sekaligus menjadi tantangan dalam menyatukan suara dalam isu-isu global utama.
“Kita hidup di masa dengan begitu banyak kontradiksi di seluruh dunia. Yang terpenting adalah kita bersedia mengatasi kontradiksi-kontradiksi ini,” kata Menteri Lingkungan Brasil, Marina Silva, di sela-sela pertemuan.
Dalam pernyataan gabungan, para pemimpin BRICS juga menegaskan bahwa negara-negara maju memiliki tanggung jawab untuk mendanai proyek-proyek penanggulangan perubahan iklim. Ini merupakan posisi standar negara berkembang dalam berbagai forum negosiasi global.
Pernyataan itu juga memuat dukungan terhadap usulan Brasil untuk membentuk Tropical Forests Forever Facility, sebuah dana perlindungan hutan tropis yang terancam punah. Dana tersebut diharapkan menjadi salah satu skema alternatif pendanaan iklim dari negara berkembang, selain kewajiban pendanaan dari negara-negara kaya sebagaimana diatur dalam Perjanjian Paris.
Menurut dua sumber, dalam pertemuan dengan Menteri Keuangan Brasil, Fernando Haddad, delegasi dari Cina dan Uni Emirat Arab memberi sinyal minat untuk berinvestasi dalam dana tersebut.
Pernyataan bersama BRICS juga memuat kritik terhadap kebijakan pajak karbon lintas batas dan regulasi anti-deforestasi Uni Eropa. BRICS menilai kebijakan tersebut bersifat diskriminatif dan proteksionis yang disamarkan sebagai kebijakan lingkungan.