Sabtu 04 May 2024 13:50 WIB

Studi Sebut Sapi yang Jarang Kentut Bisa Kurangi Pemanasan Global

Kentut sapi merupakan penghasil metana terbesar yang berperan dalam pemanasan global.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Ilustrasi sapi.
Ilustrasi sapi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi dari Australia menemukan bahwa mengembangbiakkan sapi yang lebih sedikit kentut dengan menjaganya agar tidak kembung, disertai memulihkan lahan pertanian dapat secara signifikan melawan pemanasan global. Kentut sapi menjadi salah satu penghasil metana terbesar yang berperan besar dalam pemanasan global.

Sistem dan infrastruktur pangan manusia, yang mencakup hewan penggembalaan seperti sapi, menghasilkan berton-ton metana setiap tahunnya. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh kombinasi dari pencernaan sapi, penguraian kotoran, dan penggunaan lahan untuk penggembalaan.

Baca Juga

Untuk menemukan solusinya, tim peneliti dari Curtin University Sustainability Policy Institute menganalisis 27 publikasi akademis yang relevan. Hal ini berujung pada identifikasi puluhan strategi potensial untuk mengurangi emisi metana dari sektor daging sapi dan produk susu di Australia.

Dipublikasikan di jurnal Climate, penulis utama studi Merideth Kelliher, mencatat bahwa cara tercepat untuk mengurangi emisi metana kemungkinan besar adalah dengan mengubah lahan pertanian menjadi lahan basah dan hutan. Namun, masih ada banyak kemungkinan untuk perbaikan melalui perubahan operasi di sektor produk susu dan daging sapi.

"Misalnya, mengubah tujuan pembiakaan dapat mengurangi produksi metana secara permanen. Penelitian telah menemukan bahwa sapi rendah emisi memiliki sifat genetik yang dapat diwariskan, yang dapat secara signifikan mengurangi produksi metana jika dimasukkan ke dalam tujuan pembiakan nasional,” kata Kelliher seperti dilansir Study Finds, Sabtu (4/5/2024).

"Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi sifat-sifat terbaik untuk sapi rendah emisi, pertimbangan juga harus diberikan pada emisi penggunaan lahan dan mengidentifikasi lahan pertanian yang cocok untuk restorasi ke habitat alami,” tambah dia.

Strategi lain yang dihasilkan dari penelitian ini termasuk mengidentifikasi cara-cara agar sapi dapat mencapai kedewasaan lebih cepat, meningkatkan pengelolaan air limbah di pabrik pengolahan daging sapi, menyediakan air ozonasi (air yang diolah dengan gas ozon untuk menghilangkan kotoran), memberi makan sapi lebih banyak biji-bijian dibandingkan rumput, serta memasukkan kacang-kacangan, rumput laut, atau senyawa lain ke dalam pakan sapi.

Rekan penulis studi dan Profesor Keberlanjutan Curtin Dora Marinova mencatat bahwa studi ini menandai pertama kalinya analisis semacam itu dilakukan. Ia menilai, penelitian ini sangat penting karena fakta bahwa emisi metana meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan global akan daging sapi dan produk susu.

"Sebagai pengekspor daging sapi terbesar kedua di dunia, Australia berkontribusi secara signifikan terhadap tingkat metana global. Meskipun telah menjadi penandatangan Perjanjian Paris untuk mengurangi emisi rumah kaca dan pendukung Global Methane Pledge, Australia belum berkomitmen terhadap target pengurangan metana,” kata Prof Marinova.

"Australia perlu mencari cara untuk memenuhi tujuannya - studi ini menguraikan beberapa strategi potensial yang praktis, hemat biaya, dan didukung secara ilmiah untuk membantu menginformasikan upaya para pembuat kebijakan lokal dan internasional dalam mengurangi dampak perubahan iklim,” tambah dia.

Sementara itu, salah satu penulis studi dan Curtin Research Fellow Dr. Diana Bogueva menyimpulkan bahwa analisis ini juga penting bagi konsumen karena mendorong pemahaman yang lebih baik tentang jejak lingkungan dari pilihan makanan mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement