Selasa 18 Jun 2024 13:30 WIB

Uni Eropa Setujui Rencana Pemulihan Alam yang Lama Tertunda

Negara-negara Uni Eropa wajib memulihkan setidaknya 30 persen habitat.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
 Seorang pria berjalan di dekat pohon-pohon yang ditebang secara masif di Hutan Bialoweiza, Polandia, 13 Agustus 2017.
Foto: AP Photo/Czarek Sokolowski
Seorang pria berjalan di dekat pohon-pohon yang ditebang secara masif di Hutan Bialoweiza, Polandia, 13 Agustus 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Negara-negara anggota Uni Eropa memberikan persetujuan terakhir terkait undang-undang perlindungan lingkungan yang lama tertunda. Undang-undang yang disebut Rencana Restorasi Alam (NPR) ini tertahan selama berbulan-bulan akibat protes dari petani yang menilai undang-undang iklim dan lingkungan Uni Eropa merugikan mereka.

Setelah berhasil lolos dengan suara tipis dalam pemungutan suara di Parlemen musim panas tahun lalu, eencana Restorasi Alam (NRP) ditolak beberapa negara yang menyebabkan kebuntuan selama berbulan-bulan. Undang-undang yang bertujuan untuk memulihkan ekosistem, spesies dan habitatnya di 27 negara anggota Uni Eropa itu akhirnya diadopsi di pertemuan menteri lingkungan di Luksemburg usai berhasil mengumpulkan dukungan yang dibutuhkan, yaitu 15 dari 27 negara anggota dan 65 persen populasi Uni Eropa.

Baca Juga

Suara dari Austria membantu memecah kebuntuan. "Ini langkah terakhir sebelum undang-undang ini dilaksanakan," kata Belgia selaku presidensi Dewan Uni Eropa, Senin (18/6/2024).

NPR bagian dari Kesepakatan Hijau Eropa yang menetapkan target iklim dan keanekaragaman hayati paling ambisius di dunia dan menjadikan Uni Eropa rujukan pada semua masalah iklim. Dalam undang-undang itu, negara anggota Uni Eropa harus memenuhi target restorasi habitat-habitat dan spesies tertentu untuk mencakup setidaknya 20 persen lahan darat dan laut pada 2030.

"Ini hasil dari kerja keras yang terbayarkan, tidak bisa menunda untuk melindungi lingkungan kami. Dewan Uni Eropa memilih untuk memulihkan alam di Uni Eropa, melindungi keanekaragaman hayati dan kehilingan lingkungan kami," kata Menteri Lingkungan Belgia Alain Maron.

Menteri Lingkungan Austria Leonore Gewessler memilih mendukung rencana itu setelah perdebatan di dalam negeri selama berbulan-bulan. Langkah Gewessler yang merupakan anggota Partai Hijau Austria membuat marah mitra senior di koalisi pemerintah dari kubu konservatif, Partai Rakyat Austria yang dipimpin Kanselir Karl Nehammer, terutama menjelang pemilihan nasional 29 September mendatang.

"Hati nurani saya memberitahu saya dengan jelas ketika kehidupan generasi masa depan yang sehat dan bahagia dipertaruhkan, keputusan yang berani diperlukan," kata Gewessler di media sosial X.

Kantor berita, Austria Press Agency melaporkan, menjelang pemungutan suara NPR, kantor kanselir Austria mengatakan Nehammer memberitahu Belgia selaku presidensi Uni Eropa bahwa suara dukungan Gewessler pada NPR tidak sah. Kantor Nehammer mengatakan Austria akan menggugat ke Pengadilan Eropa untuk menyatakan suara itu tidak sah.

Pejabat Uni Eropa yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan suara Gewessler mengikat secara hukum dan badan hukum Dewan Eropa sudah mengonfirmasinya.

Pada awal tahun ini, petani-petani Eropa menggelar unjuk rasa di berbagai kota dan negara di seluruh dunia. Mereka memprotes undang-undang lingkungan Uni Eropa karea merugikan mata pencarian mereka dan mencekik mereka dengan birokrasi.

Dalam undang-undang perlindungan lingkungan yang baru, negara-negara Uni Eropa wajib memulihkan setidaknya 30 persen habitat seperti hutan, sungai, padang rumput, danau, dataran basah dan hamparan karang yang buruk kondisinya pada tahun 2030. Persentase ini naik 60 persen pada tahun 2040 dan 90 persen pada tahun 2050.

Undang-undang ini juga memperkenalkan persyaratan khusus mengenai langkah-langkah untuk memulihkan penurunan jumlah hewan penyerbuk. Kelompok pertanian utama Uni Eropa, COPA-COGECA, mengatakan rencana tersebut tidak memiliki pendanaan yang jelas dan konsisten dan undang-undang tersebut tidak dapat diterapkan di lapangan.

Tahun lalu, organisasi lingkungan dan koalisi perusahaan besar bersikeras legislasi ini sangat penting untuk mengatasi perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Namun, NPR kehilangan sejumlah poin progresif selama negosiasi karena penolakan keras dari kelompok politik utama Parlemen Uni Eropa yakni European People's Party Group (EPP Group) serta sejumlah kelompok politik konservatif dan sayap kanan lainnya.

Mereka menilai NPR akan melemahkan ketahanan pangan, menyebabkan inflasi bahan bakar dan merugikan petani. Sehingga rencana pemulihan alam Uni Eropa itu melemah.

Contohnya sampai 2030, negara anggota hanya dapat memprioritaskan lokasi yang ditetapkan dalam jaringan Natura 2000, yang mencakup spesies dan habitat paling berharga di Eropa. Tidak ada kewajiban untuk menerapkan hukum di wilayah alam lainnya.

Negara-negara Uni Eropa harus memulihkan 30 persen lahan gambut pada 2030, tapi target pembasahan yang ditetapkan di tingkat nasional. Artinya, pemilik lahan atau petani individu tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban itu.

NPR juga menyediakan rem darurat seperti yang diminta Parlemen Eropa. Artinya, target-target pemulihan ekosistem dapat ditunda atas situasi tertentu bila pelaksanaan pencapaian target-target itu mengurangi produksi pangan untuk konsumsi Eropa.

Greenpeace mengatakan kegagalan Uni Eropa mengesahkan undang-undang ini akan memalukan, terutama menjelang pertemuan iklim PBB 2024 (COP29) di Baku, Azerbaijan, bulan November mendatang.

"Terlepas dari akhirnya hukum ini melemah, kesepakatan ini menawarkan secercah harapan bagi alam Eropa, generasi mendatang, dan mata pencaharian masyarakat pedesaan," kata juru kampanye keanekaragaman hayati Greenpeace, Špela Bandelj Ruiz.

 

sumber : AP
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement