Sabtu 13 Jul 2024 16:03 WIB

Kecerdasan Buatan, Kemajuan Teknologi yang Ternyata Membahayakan Lingkungan

AI menggunakan lebih banyak energi dibandingkan penggunaan internet biasa.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Teknologi kecerdasan buatan (AI) ChatGPT.
Foto: VOA
Teknologi kecerdasan buatan (AI) ChatGPT.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Para peneliti menyatakan pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) menjadi tantangan baru dalam penanggulangan perubahan Iklim. Peneliti AI di Allen Institute Jesse Dodge menghitung bahwa jumlah energi yang dikonsumsi robot chat cukup besar.

"Satu kueri ChatGPT menggunakan listrik yang dapat menyalakan satu lampu bohlam sekitar 20 menit, jadi bisa anda bayangkan dengan jutaan orang menggunakannya setiap hari, itu akan membutuhkan begitu banyak listrik," kata Dodge dikutip dari laman NPR, Jumat (12/7/2024).

Baca Juga

Dodge mempelajari bagaimana AI mengonsumi energi. Saat ini ditemukan bahwa AI menggunakan lebih banyak energi dibandingkan penggunaan internet biasa seperti pencarian atau penyimpanan awan.

Berdasarkan laporan Goldman Sachs, kueri atau pertanyaan atau permintaan ke ChatGPT membutuhkan 10 kali energi lebih banyak dibandingkan pencarian di Google. Semakin canggih AI maka semakin banyak energi yang dibutuhkan. Masalahnya, sebagian besar energi listrik di dunia masih berasal dari bahan bakar fosil seperti batu bara dan gas yang merupakan faktor utama perubahan iklim karena menimbulkan emisi karbon.

Perusahaan-perusahaan AI termasuk OpenAI pembuat ChatGPT tidak mengungkapkan emisi mereka. Tapi pekan lalu, Google merilis laporan keberlanjutan mereka yang baru dan laporan ini memberikan sedikit gambaran.

Dalam laporan setebal 86 halaman itu, Google mengatakan emisi gas rumah kacanya tahun lalu naik 48 persen sejak 2019. Hal ini disebabkan lonjakan konsumsi di pusat data dan rantai pasokan emisi.

"Saat kami semakin mengintegrasikan AI pada produk kami, mengurangi emisi mungkin akan menantang," kata laporan Google tersebut.

Google sudah menetapkan tujuan nol-emisi pada tahun 2030 mendatang. Sejak 2007, perusahaan tersebut mengatakan operasi mereka bersifat netral karbon karena mereka membeli kompensasi karbon untuk menyesuaikan batas emisinya.

Namun dalam laporannya, Google mengatakan sejak tahun 2023 mereka tidak lagi mempertahankan operasi netralitas karbon. Tapi mereka masih mempertahankan target nol karbon tahun 2030. “Motivasi Google yang sebenarnya di sini adalah membangun sistem AI terbaik yang mereka bisa,” kata Dodge.

Menurut Dodge, Google mencurahkan banyak sumber daya untuk melatih sistem AI di pusat data yang semakin besar dan superkomputer. Langkah-langkah tersebut menimbulkan konsumsi listrik dan emisi CO2 dalam jumlah besar.

Sementara itu, Microsoft menjalankan janji iklimnya selangkah lebih maju daripada Google, dengan mengatakan mereka akan menjadi perusahaan negatif karbon pada tahun 2030. Namun, perusahaan ini juga menghadapi kemunduran karena fokusnya pada AI.

Dalam laporan keberlanjutannya yang dirilis pada bulan Mei, Microsoft mengatakan sejak tahun 2020 emisinya naik 29 karena membangun lebih banyak pusat data yang dirancang dan dioptimalkan untuk mendukung beban kerja AI.

"Infrastruktur dan listrik yang dibutuhkan untuk teknologi-teknologi ini menciptakan tantangan baru dalam memenuhi komitmen keberlanjutan di seluruh sektor teknologi," tulis laporan tersebut. NPR melaporkan Microsoft menolak memberikan komentar lebih lanjut. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement