Senin 15 Jul 2024 14:00 WIB

Menimbang Plus Minus Revisi UU Konservasi terhadap Perlindungan Satwa

Ancaman pidana pelaku kejahatan terhadap satwa yang dilindungi semakin berat.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Bayi Orangutan Kalimantan subspecies wurmbii berada dalam kandangnya di kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jatim, Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (21/9/2023).
Foto: Antara/Umarul Faruq
Bayi Orangutan Kalimantan subspecies wurmbii berada dalam kandangnya di kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jatim, Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (21/9/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR belum lama ini telah menyetujui revisi UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konvervasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE). Aturan terbaru dalam UU tersebut dinilai memiliki sisi negatif dan positif terhadap perlindungan satwa liar.

Koordinator Hukum dan Advokasi Garda Animalia, Muhammad Satria Putra, mengatakan penyusunan dan substansi revisi UU KSDAHE bermasalah. Awalnya, proses penyusunan berjalan terbuka dan melibatkan masyarakat. Tapi menurutnya, pelibatan masyarakat dalam penyusunan bersifat semu karena pembahasan DPR dengan Panja (Panitia Kerja) dilakukan tertutup.

Baca Juga

Satria menceritakan, rapat jejak dengar pendapat umum RUU KSDAHE di Komisi IV DPR RI pada April 2023 dilakukan terbuka dan melibatkan masyarakat sipil. Tapi menjelang pembahasan, pemerintah dan DPR sepakat dilakukan tertutup.

Satria menjelaskan, awalnya UU KSDAHE yang baru disahkan merupakan undang-undang pengganti, namun kemudian berubah menjadi undang-undang perubahan. Menurutnya dengan beralihnya kepada konsep undang-undang perubahan, maka frasa dilindungi dan tidak dilindungi tetap berlaku sehingga kelemahan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 masih tetap ada.

"Dampaknya bagi kami perlindungan terhadap satwa hanya berpaku atau menyamakan semua satwa tanpa melihat nilai satwa itu sendiri," kata Satria saat dihubungi, Senin (15/7/2024).

Satria menjelaskan, dalam rancangan awal UU KSDAHE terdapat pengkategorian satwa seperti perjanjian internasional CITES (the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) Appendices. Dalam perjanjian itu terdapat kategori I, II dan III berdasarkan tingkat keterancaman populasi.

"Tetapi ketika undang-undang ini menjadi undang-undang perubahan maka tetap menggunakan frasa satwa liar dilindungi dan satwa liar tidak dilindungi," katanya.

Hal tersebut mengakibatkan semua satwa bernilai sama. Ia mencontohkan orang utan dengan burung cica hijau yang merupakan satwa yang dilindungi. Tapi, apabila orang utan dan burung cica hijau menjadi korban perdagangan dan penyeludupan, maka rehabilitasinya dilakukan dengan berbeda.

"Tetapi tidak serta-merta undang-undang ini tidak ada perbaikan," tambah Satria.

Ia mengatakan, dalam UU yang baru ancaman pidana pelaku kejahatan terhadap satwa yang dilindungi semakin berat. Sebelumnya pelaku perdagangan flora dan fauna yang dilindungi hanya diancam lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta.

"Beda-beda, ada yang minimal dua tahun ada yang tiga tahun dan maksimal 10 tahun dan tujuh tahun (penjara), dan dendanya juga banyak," katanya.

Selain itu, ada pidana tambahan bagi pelaku perdagangan fauna dan flora dilindungi. Kini pelaku dapat dibebani tanggung jawab rehabilitas untuk pemulihan atau penggantian dana yang dikeluarkan pemerintah untuk melakukan rehabilitas satwa atau tumbuhan liar.

Satria menegaskan, meski ada perbaikan, tapi UU KSDAHE memiliki banyak kekurangan terutama karena masih menggunakan pendekatan lama. Ia mengatakan Undang-Undang Nomor 5 disahkan tahun 1990 sementara Undang-Undang Otonomi Daerah disahkan tahun 1999.  

"Jadi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum terakomodasi semuanya di UU Nomor 5 Tahun 1990," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement